REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penetapan satu hakim agung sebagai tersangka oleh KPK dalam pengembangan dari operasi tangkap tangan (OTT) dugaan suap yang melibatkan Hakim Agung Sudrajad Dimyati pada Oktober 2022 mencuat ke publik. Pakar Hukum Pidana daei Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar bersuara, profesi hakim agung sarat akan intervensi baik politik maupun uang. Karena itu untuk mencegah penyelewengan, Fickar meminta agar hakim agung yang terlibat kasus pidana korupsi agar dihukum seberat-beratnya.
Menurut Fickar, sejak dahulu hingga kini dunia peradilan selalu dibayang-bayangi oleh oknum-oknum hakim yang mengandalkan materi sebagai alat untuk memenangkan suatu perkara. Padahal seharusnya yang paling menentukan menang kalah itu posisi dan kajian hukum dari suatu peristiwa perselisihan.
“Apalagi jika kerugian ada pada kepentingan umum, negara melalui jaksa penuntut umum (JPU) turun tangan untuk menuntut warga negara yang melanggar. Sementara Hakim sebagai profesi independen oleh hukum ditempatkan sebagai pemutus,” kata Fickar saat berbicang dengan Republika.co.id, Sabtu (12/11/2022).
Dalam posisi sebagai pemberi keputusan inilah, menurut Fickar, posisi hakim sangat rawan diintervensi baik oleh kekuasaan politik maupun kekuasaan uang. Masa intervensi oleh kekuasaan politik sudah berakhir dengan berakhirnya pemerintahan yang otoriter.
Ketika bebas inilah, kata dia, kekuasaan uang mulai merajalela tidak hanya pada tingkat bawah di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi tetapi juga intervensi masuk ke jajaran paling atas Mahkamah Agung. "Itulah sebabnya ada beberapa orang Hakim Agung yang tertangkap tangan KPK, yang nyata-nyata ketahuan karena info dari sekitarnya. Situasi ini sangat memprihatinkan,” kata Fickar.
Dalam sudut pandangnya, ketika seseorang sudah meraih posisi sebagai Hakim Agung maka sepenuh jiwa raganya sadar bahwa hidupnya bukan lagi tentang dia seorang tetapi juga sebagai pemberi keputusan yang adil bagi masyarakat pencari keadilan.
“Seharusnya ketika seorang telah menjabat sebagai Hakim Agung, mulai punya kesadaran penuh bahwa hidup dan keberadaannya sebagai Hakim Agung menjadi tumpuan masyarakat mencari keadilan di tengah konflik-konflik yang terjadi,” kata Fickar.
Namun yang terjadi justru sebaliknya, jabatan mulia itu dimanfaatkan mereka untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Bahkan tidak menutup kemungkinan mereka menjadi Hakim Agung juga dengan cara suap sana-suap sini.
“Maka tidak bisa dihindarkan runtuhlah kewibawaan itu, kredibilitas tidak hanya orang, kredibilitas hukum pun menjadi hancur, inilah orientasi materi yang terus dipelihara melupakan fungsinya sebagai hakim yang setiap hari mengatas namakan Tuhan menutus perkara (Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa). karena itu jika ada hakim yang diadili sebaiknya dihukum yang seberat -beratnya,” kata Fickar.