Jumat 11 Nov 2022 10:32 WIB

Mendagri Tito Lantik Pj Gubernur 3 Provinsi Baru Papua

Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan sebelumnya Provinsi Papua.

Rep: Febryan A/ Red: Ratna Puspita
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian
Foto: Republika/Prayogi
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian meresmikan tiga provinsi baru Papua di Kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Jakarta, Jumat (11/11/2022). Tito juga melantik penjabat (Pj) gubernur untuk tiga provinsi itu. 

"Dengan rahmat Tuhan yang Maha Kuasa, pada hari ini Jumat 11 November 2022, bertempat di Jakarta, saya Muhammad Tito Karnavian, Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden Republik Indonesia dengan ini meresmikan Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan. Semoga Tuhan yang Maha Kuasa meridhoi dan memberikan berkat kepada kita semua," ujar Tito 

Baca Juga

Setelah peresmian, Tito melantik Apolo Safanpo sebagai Pj Gubernur Papua Selatan, Ribka Haluk sebagai Pj Gubernur Papua Tengah, dan Nikolaus Kondomo sebagai Pj Gubernur Papua Pegunungan. "Saya percaya saudara-saudari akan melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya sesuai tugas yang diberikan," ujar Tito. 

Sebagai informasi, Apolo Safanpo adalah staf ahli Mendagri Bidang Pemerintahan. Sebelumnya, dia menjabat sebagai Rektor Universitas Cendrawasih.  

Nikolaus Kondomo adalah staf ahli Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Kerjasama Internasional pada Kejaksaan Agung. Sebelum menjadi staf ahli, Nikolaus menjabat sebagai kepala Kejaksaaan Tinggi Papua. 

Ribka Haluk adalah staf ahli Mendagri Bidang Aparatur dan Pelayanan Publik. Dia sebelumnya menjabat sebagai kepala dinas Sosial, Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi Papua. 

Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan itu sebelumnya masuk ke dalam wilayah Provinsi Papua. Pembentukan tiga provinsi itu dimulai secara resmi ketika DPR RI mengusulkan rancangan undang-undang (RUU) untuk masing-masing provinsi tersebut pada pertengahan April 2022 lalu. 

Saat DPR bersama Pemerintah mulai membahas tiga regulasi tersebut di Jakarta, nun di Papua sana, rakyat terbelah dua. Muncul kelompok pro dan kelompok kontra pemekaran atau pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB). 

Secara umum, kelompok kontra menilai pembentukan DOB hanyalah keinginan elite Jakarta semata, bukan aspirasi warga Papua. Mereka khawatir, kehadiran tiga provinsi baru itu akan membuat orang asli Papua (OAP) semakin termarjinalkan. Sebab, kelompok ini meyakini pemekaran akan diiringi dengan masuknya warga pendatang secara masif dan pembangunan yang merampas ruang hidup OAP. 

Sementara, kelompok pro menyebut pembentukan tiga provinsi itu bakal meratakan pembangunan dan menyejahterakan rakyat Papua. Argumentasi kelompok pro ini senada dengan pernyataan pemerintah pusat. 

"Tujuan utama (pembentukan tiga provinsi baru ini) untuk mempercepat pembangunan di Papua, guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua, terutama orang asli Papua," kata Tito, ketika itu. 

Meski muncul pro dan kontra, legislator bersama pemerintah tetap tancap gas membahasnya, hingga akhirnya DPR mengesahkan tiga RUU tersebut dalam Rapat Paripurna tanggal 30 Juni 2022. Selanjutnya, Jokowi meneken tiga RUU itu menjadi UU pada 25 Juli. 

Peneliti yang sudah menggeluti isu Papua selama belasan tahun, Profesor Cahyo Pamungkas, Sebab, kesejahteraan rakyat bakal hadir lewat pembentukan tiga provinsi baru ini. Pasalnya, pembentukan provinsi tersebut tidak didahului dengan peningkatan kualitas SDM Papua. 

"Kalau untuk kesejahteraan elite iya, karena akan terbuka peluang seperti jabatan kepala dinas dan anggota DPRD. Tapi untuk masyarakat di tingkat akar rumput, itu masih tanda tanya," ujar peneliti utama di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu kepada Republika pada Oktober lalu. 

Menurut Cahyo, jika memang ingin pemekaran tiga provinsi itu berbuah kesejahteraan rakyat, maka pemerintah setidaknya harus menghindari tiga hal. Pertama, jangan tambah struktur teritorial militer dan personel di tiga provinsi baru itu. Kedua, batasi jumlah masyarakat pendatang ke sana. Ketiga, batasi aktivitas eksploitasi sumber daya alam (SDA). 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement