Rabu 26 Oct 2022 20:21 WIB

Polri Sasar Produsen Obat Sirup Penyebab Gagal Ginjal

Polri meminta kepolisian daerah tak merazia obat-obatan sirup di apotek.

Rep: Bambang Noroyono / Red: Ilham Tirta
Polri meminta kepolisian daerah tak merazia obat sirop di apotek (apotek).
Foto: ANTARA/Raisan Al Farisi
Polri meminta kepolisian daerah tak merazia obat sirop di apotek (apotek).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polri menilai apotek maupun toko obat tak dapat disalahkan atas keberadaan produk farmasi berupa obat sirup yang mengantung cemaran zat Etilen Glikol (EG) dan Dietlien Glikol (DEG). Lewat surat telegram Kepala Bareskrim Polri, meminta agar kepolisian di daerah tak melakukan penindakan ataupun razia obat-obatan sirup di apotek-apotek maupun di toko-toko obat.

Polri menilai, yang patut disalahkan atas obat-obat sirup penyebab gagal ginjal akut pada anak tersebut, adalah produsen-produsen produk farmasi. Dalam Surat Telegram (ST)/192/RES.4/X/2022 Bareskrim, bertanggal 5 Oktober 2022 mengatakan, hasil dari pemantauan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) disebutkan adanya obat sirup yang beredar di masyarakat mengandung cemaran EG dan DEG melebihi ambang batas.

Baca Juga

Dikatakan dari hasil uji menyimpulkan penggunaan obat-obat sirup tersebut, terkait dengan kejadian gagal ginjal akut. Sehubungan dengan situasi tersebut, TR tersebut memerintahkan Direktorat Tindak Pidana Narkotika dan Obat-obat Terlarang (Dirtipid Narkoba) melakukan kordinasi intensif dengan BPOM.

Kordinasi dilakukan dari level pucuk, sampai ke tingkat daerah. Namun TR tersebut melarang implementasi koordinasi lintas struktur tersebut dengan melakukan penindakan, ataupun razia di apotek maupun di toko obat-obatan.

“Agar seluruh jajaran, tidak melaksanakan sidak razia, gakkum (penegakan hukum) terhadap apotek atau toko obat yang melakukan penjualan sirup atau obat dengan merk-merk tertentu yang mengandung EG maupun DEG melebihi ambang batas,” dalam TR yang diterima wartawan di Jakarat, Rabu (26/10/2022).

Karena menurut Bareskrim, toko-toko farmasi, maupun apotek bukan pihak yang patut disalahkan atas keberadaan obat-obatan tersebut. “Pada dasarnya apotek atau toko obat, sama sekali bukan pihak yang harus disalahkan,” sambung TR tersebut.

Wakil Direktur Tipid Narkoba, Kombes Jayadi ketika dikonfirmasi membenarkan sebaran TR tersebut. Ia menjelaskan, TR tersebut sebetulnya semacam himbauan kepada direktorat terkait untuk tak melakukan penegakan hukum yang keliru terhadap apotek maupun toko obat.

“Karena memang kalau mencermati isi TR itu yang seharusnya dilakukan penindakan adalah di tingkat produsen-produsennya,” kata Jayadi, Rabu (26/10/2022).

Jayadi menerangkan toko obat, maupun apotek memang menjadi mata rantai pendistribusian produk-produk farmasi tersebut. Akan tetapi, pendistribusian produk obat-obatan yang sudah dicap berbahaya itu, kata Jayadi, sudah didahului dengan adanya izin edar.

Karena itu, menjadi tak tepat jika apotek maupun toko obat yang menjual produk farmasi yang sudah memiliki izin edar dan penjualan disalahkan atas penyebaran sirup-sirup berbahaya itu. “Jadi yang akan disasar dalam hal ini, bukan toko obatnya. Lebih kepada produsennya yang nantinya akan dilakukan penindakan,” kata Jayadi.

Namun sampai saat ini, kata Jayadi menjelaskan, tim dari Dirtipid Narkoba belum mendapatkan inventarisir dari BPOM maupun Kementerian Kesehatan (Kemenkes) daftar produsen sirup-sirup mengandung EG dan DEG melampau batas itu.

Mabe Polri, pekan lalu sudah membentuk tim besar untuk melakukan penyelidikan terkait penyakit gagal ginjal akut pada anak yang sudah menewaskan 141 jiwa itu. Tim besar itu terdiri dari Dirtipid Narkoba, Direktorat Tindak Pidana Umum (Dirtipidum), Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus). Tim besar penyelidikan tersebut dikepalai Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dirtipiter) Bareskrim Mabes Polri.

Tim gabungan itu, diminta untuk melakukan penindakan hukum atas kasus gagal ginjal pada anak-anak tersebut. Kemenkes dan BPOM meyakini penyakit gagal itu disebabkan oleh konsumsi obat-obatan sirup yang mengandung kadar EG dan DEG melebih batas ketentuan. Saat ini, tercatat ada 102 merk obat yang teridentifikasi dan dilarang peredarannnya oleh pemerintah.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement