Rabu 26 Oct 2022 06:36 WIB

Ombudsman Duga Potensi Maladministrasi di Kemenkes dan BPOM

Ombudsman menilai ada dugaan potensi maladministrasi di Kemenkes dan BPOM.

Rep: RR Laeny Sulistyawati/ Red: Bilal Ramadhan
Ilustrasi Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)
Foto: Antara/Andreas Fitri Atmoko
Ilustrasi Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Ombudsman menduga adanya potensi maladministrasi di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terkait kasus gagal ginjal akut misterius pada anak-anak. Kemenkes dinilai tidak memiliki data penyebaran penyakit ini secara akurat dan BPOM yang tidak maksimal awasi produk yang sebabkan gagal ginjal aku.

Pimpinan Ombudsman, Robert Na Endi Jaweng menjelaskan, pihaknya memiliki beberapa dugaan potensi terjadi maladministrasi di Kemenkes dan BPOM.

Baca Juga

"Dari penggalian informasi dan data sejauh ini, kami di kesimpulan adanya dugaan potensi terjadi maladministrasi di kedua institusi ini. Ada tiga poin yang menjadi dasar penilaian terjadi maladministrasi di Kemenkes," ujar Robert saat konferensi virtual, Selasa (25/10/2022).

Pertama, Ombudsman menilai Kemenkes tidak memiliki data pokok terkait sebaran penyakit atau epidemiologi baik tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan pusat. Sehingga menyebabkan terjadinya kelalaian dalam pencegahan atau upaya mitigasi kasus gangguan ginjal akut. Kemenkes hingga Agustus 2022 belum mengerti masalah yang ada, masih belum punya data.

Kemudian, baru menyadari ada yang darurat setelah Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyuplai data kasus ini. Kemudian, dia melanjutkan, Kemenkes baru melacak sejak kapan kasus ini terjadi meski belum tentu akurat.

Poin kedua karena tidak mengerti masalah yang ada dan tidak ada data akurat tersebut, Ombudsman menilai Kemenkes tidak bisa memberikan informasi dan melakukan sosialisasi terkait penyebab dan antisipasi gangguan ginjal akut. Sehingga, tiada keterbukaan dan akuntabilitas informasi yang valid dan terpercaya terkait masalah ini.

Poin ketiga adalah ketiadaan standarisasi pencegahan dan penanganan kasus gangguan ginjal akut oleh seluruh pusat pelayanan kesehatan baik di fasilitas kesehatan (faskes) tingkat pertama maupun faskes tingkat lanjut.

Ia menambahkan, ini menyebabkan belum terpenuhinya standar pelayanan publik (SPP), termasuk pelayanan pemeriksaan laboratorium. Sementra itu, Ombudsman juga melihat BPOM juga berpotensi melakukan maladministrasi.

"Pada tahap pre-market, Ombudsman menilai bahwa BPOM tidak maksimal melakukan pengawasan terhadap produk yang diuji oleh perusahaan farmasi karena membiarkan produsen melakukan uji mandiri," ujarnya.

Menurutnya, BPOM seolah memberikan kewenangan perusahaan untuk melakukan pengujian tanpa kontrol kuat. Yang ditemukan Ombudsman adalah uji mandiri dilakukan perusahaan farmasi dan baru melaporkannya ke BPOM.

BPOM pun dinilai terkesan pasif menunggu munculnya laporan yang disampaikan. Padahal, dia melanjutkan, seharusnya BPOM yang melakukan kontrol dan secara random melakukan uji produk yang dihasilkan perusahaan.

Jadi, jangan diserahkan ke pasar. Masih dalam pre-market, Ombudsman juga menilai bahwa terjadi kesenjangan antara standarisasi yang diatur oleh BPOM dengan implementasi di lapangan. Dimana terjadi pelampauan ambang batas atas kandungan senyawa yang ada dalam produk yang dikeluarkan oleh perusahaan.

Standarisasinya tidak terjaga dengan baik oleh produsen dan perusahaan farmasi. BPOM juga tidak melakukan kontrol ketat dan efektif atas standar atau batas senyawa yang berbahaya di produk.

"Masih di pre-market, tidak maksimalnya verifikasi dan validasi sebelum penerbitan izkn edar. Ombudsman menilai bahwa BPOM wajib memaksimalkan tahapan verifikasi dan validasi sebelum penerbitan izin edar," katanya.

Kemudian, di poin post-market, Ombudsman menilai perlu adanya pengawasan maksimal BPOM pascapemberian izin edar. Ombudsman menilai BPOM perlu melakukan evaluasi secara berkala terhadap produk yang beredar. Hal ini bertujuan untuk memastikan konsistensi mutu kandungan produk yang beredar.

Dia menambahkan, Kemenkes dan BPOM telah memiliki tugas. Kemenkes dalam pembagian kerja ada kewenangan penyusunan, penetapan, pelaksanaa  kebijakan di bidang kesehatan dan pencegahan pengendalian penyakit, pelayanan kesehatan dan kefarmasian dan alat kesehatan.

Kemenkes juga punya fungsi pengembangan dan alat kesehatan. Kalau ini berjalan, semestinya persoalan ini bisa dideteksi sejak jauh-jauh hari.

"Di sisi lain, kami juga melihat BPOM juga punya kewenangan dan tanggung jawab penerbitan izin edar produk dan penerbitan sertifikasi sesuai standar yang ada," katanya.

Ombudman juga mengingatkan BPOM yang juga memiliki fungsi intelijen dan penyidikan di bidang pengawasan. Terakhir BPOM juga memiliki kewenangan memberikan sanksi administratif kepada para pihak yang terbukti melanggar ketentuan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement