Selasa 25 Oct 2022 15:26 WIB

YLBHI Desak Pemerintah Sediakan Obat Alternatif untuk Anak

YLBHI desak menyiapkan alternatif obat bagi anak selain obat sirup cair

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Christiyaningsih
Petugas menunjukkan famplet pemberitahuan penghentian penjualan obat sirup di sebuah apotek di Cipocok, Kota Serang, Banten, Selasa (25/10/2022). Menindaklanjuti larangan penggunaan obat sirup untuk anak dan balita oleh Kementrian Kesehatan petugas gabungan Balai POM dan Polri melakukan monitoring ke apotik-apotik dan toko obat untuk memastikan dihentikannya peredaran obat tersebut.
Foto: ANTARA/Asep Fathulrahman
Petugas menunjukkan famplet pemberitahuan penghentian penjualan obat sirup di sebuah apotek di Cipocok, Kota Serang, Banten, Selasa (25/10/2022). Menindaklanjuti larangan penggunaan obat sirup untuk anak dan balita oleh Kementrian Kesehatan petugas gabungan Balai POM dan Polri melakukan monitoring ke apotik-apotik dan toko obat untuk memastikan dihentikannya peredaran obat tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mendesak pemerintah segera mengambil tindakan perlindungan yang komprehensif berupa pencegahan efektif, rehabilitasi korban yang terindikasi mengalami dampak akibat gangguan ginjal akut progresif atipikal. Pemerintah juga harus memprioritaskan seluruh layanan dan fasilitas kesehatan untuk kasus ini serta melibatkan peran serta orang tua, keluarga dan masyarakat.

"Pemerintah juga harus segera menyiapkan alternatif obat bagi anak selain obat sirup cair," tegas Ketua YLBHI, Muhammad Isnur dalam keterangan, Selasa (25/10/2022).

Baca Juga

Isnur melanjutkan, YLBHI meminta kepada negara untuk melaksanakan tugas konstitusionalnya dengan memaksimalkan sumber daya secara maksimum untuk menjamin keselamatan warga negara terkait terjadinya lonjakan kasus akibat penyakit ini. Pemerintah diminta berkaca pada peristiwa pandemi Covid-19, di mana lambannya respons pemerintah telah menelan banyak korban.

"Sama halnya dengan kasus gangguan ginjal akut, jika pemerintah tidak sungguh-sungguh menangani kasus ini maka tidak menutup kemungkinan peristiwa kelam pandemi Covid-19 kembali terulang," kata Isnur.

Berdasarkan hasil penelusuran YLBHI, kasus gangguan ginjal akut mulai muncul sejak bulan Juli 2022. Namun pemerintah baru merespons di akhir Oktober 2022. Dalam hal ini, YLBHI menilai pemerintah lambat merespon kasus tersebut sehingga situasi ini membahayakan keberlangsungan hidup bagi anak.

"Kami mengingatkan pemerintah untuk mengedepankan prinsip kehati-hatian agar penanganannya tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya terhadap anak. Oleh karena korban dalam kasus ini adalah kategori anak sebagai kelompok rentan, maka penanganannya harus memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak," tegasnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement