Kamis 20 Oct 2022 10:30 WIB

Pengamat Belum Temukan Bukti Pemilih Muslim akan Tolak Ganjar

Pasangan Islam-nasionalis bukan aturan baku dalam pemilihan di Tanah Air.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Indira Rezkisari
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (kiri) bersama Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo (kanan).
Foto: Istimewa
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (kiri) bersama Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo (kanan).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies (IPS), Nyarwi Ahmad, menilai peluang Ganjar Pranowo-Airlangga Hartarto di Pilpres 2024 masih sangat terbuka. Meski nuansa nasionalis keduanya terlalu dominan, namun menurut Nyarwi sampai saat ini  belum ada riset yang menyatakan adanya resistensi terhadap pasangan tersebut dari pemilih muslim.

"Kalau KIB mengusung keduanya (Ganjar-Airlangga) sebagai pasangan capres cawapres, menurut saya juga tidak ada kendala ya. Belum ada data riset yang sangat kredibel yang menunjukkan ada pemilih dari segmen Islam yang resistensinya tinggi atau mereka berdua mendapatkan resistensi tinggi dari kalangan pemilih muslim," kata Nyarwi, Kamis (20/10/2022).

Baca Juga

Nyarwi menambahkan, apalagi sampai saat ini  tidak ada kebijakan yang dilakukan keduanya selama menjabat sebagai pejabat publik yang dinilai merugikan umat Islam. Selain itu terdapat juga peraturan daerah yang bernuansa syariah seperti peraturan mengenai minuman keras (miras) yang juga didukung oleh Partai Golkar, serta PDIP di beberapa daerah

"Itu justru menunjukkan partai-partai nasionalis itu ikut mendorong perda-perda yang bernuansa syariah itu sendiri," ucapnya.

Lagipula menurutnya tidak ada ketentuan dalam sejarah republik Indonesia bahwa seorang calon presiden dan calon wakil presiden harus representasi kelompok Islam-nasionalis, dan nasionalis-Islam. Hanya saja ada sebuah

konsensus nasional bahwa figur capres-cawapres tidak hanya kategori nasionalis saja mengingat mayoritas pemilih di Indonesia merupakan muslim.

"Bukan tuntutan tapi ada kepantasan ada representasi tokoh yang mewakili Islam itu menjadi penting," ujarnya.

Namun demikian pascareformasi partai-partai nasionalis juga mengakomodir kepentingan umat Islam dengan membentuk sayap partai, seperti BMI di PDIP dan Majelis Dakwah Islamiyah (MDI) di Partai Golkar. Namun seringkali hal tersebut tidak dipandang sebagai bentuk akomodasi atau representasi dari kepentingan umat Islam.

"Karena tidak dipandang sebagai entitas yang paling utama di dalam partai itu sehingga ini juga kadang kala dalam tanda petik menjadikan semacam kerugian juga. Sehingga sosok-sosok yang ada di partai itu dianggap belum merepresentasikan, bukan tidak ya, belum sepenuhnya merepresentasikan pemilih Islam," ungkap dosen Komunikasi Politik, Fisipol UGM itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement