Ahad 09 Oct 2022 05:34 WIB

Lika Liku Laku Anies Baswedan Menuju Pencapresan

Ada sejumlah kemiripan kondisi Anies Baswedan saat SBY maupun Jokowi saat pencapresan

Sejumlah langkah sudah dilakukan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menuju Pilpres 2024. Foto ilustrasi Anies bersama Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) berjabat tangan usai memberikan keterangan di kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta, Jumat (7/10/2022). Silahturahmi Anies-AHY tersebut membahas soal dinamika politik jelang Pilpres 2024.
Foto: Republika/Prayogi
Sejumlah langkah sudah dilakukan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menuju Pilpres 2024. Foto ilustrasi Anies bersama Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) berjabat tangan usai memberikan keterangan di kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta, Jumat (7/10/2022). Silahturahmi Anies-AHY tersebut membahas soal dinamika politik jelang Pilpres 2024.

Oleh : Mas Alamil Huda, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Sejak 2017, semua tahu target Anies Baswedan adalah presiden. Pidato pertamanya di hari yang sama ketika ia dilantik sebagai gubernur, pada 16 Oktober malam lima tahun lalu, isinya dipadati narasi kebangsaan. Pesan persatuan, keberagaman, keadilan, dan Jakarta sebagai episentrum pergerakan nasional dalam lintasan sejarah berdirinya republik, ia tekankan kuat-kuat.

Kutipan-kutipan pepatah dari berbagai daerah ia pakai untuk menghidupkan pesan bahwa pidatonya adalah tentang gagasan besar kebangsaan. Sebuah gagasan mengelola republik untuk mewujudkan cita-cita bernegara. Dan, entah kebetulan atau disengaja, Anies Baswedan berpidato persis menghadap ke arah Medan Merdeka Utara, Istana Negara.

Saya ada di Balai Kota saat itu, tak jauh dari panggung. Kalau saya tidak salah ingat, ada pepatah Batak, Madura, Aceh, dan beberapa daerah lagi yang ia kutip. Saya dan teman jurnalis yang sama-sama meliput waktu itu lantas melontarkan guyonan, “kalau nanti Anies jadi presiden RI, pidato pertamanya tidak perlu lagi dibuat. Kata ‘Jakarta’ tinggal diganti jadi ‘Indonesia’.”

Tetapi, apakah terpikirkan saat itu, khususnya oleh pendukung fanatiknya, bahwa Anies suatu saat akan memilih Nasdem sebagai kendaraan politik untuk 2024? Kerasnya kompetisi Pilgub DKI 2017 rasanya tak bisa memberi pembenaran apa pun. Saking kerasnya, wartawan Media Grup, milik Surya Paloh, bahkan menjadi sasaran amuk saat menjalankan tugas peliputan oleh orang-orang yang pasti tidak memilih Ahok waktu itu.

Kini yang terjadi, ya demikian, seperti yang kita lihat dan dengar. Saya tidak akan mengatakan pilihan itu sebuah inkonsistensi atau bahkan pengkhianatan terhadap pendukungnya saat Pilkada DKI. Tidak. Ini sekadar upaya dalam mengambil peluang yang ada untuk mencapai apa yang dia inginkan. Rasanya, itu tidak dosa. Sebab, orang tak berparpol yang mau jadi capres wajib berkompromi jika ingin diantarkan ke KPU.

Realitas sistem politik kita memang begitu. Pencapresan hanya bisa dilakukan partai politik atau gabungan parpol yang memenuhi syarat ambang batas pencalonan. Soal parpol mana yang memfasilitasi, itu nomor sekian asal saling menguntungkan. Lantas apakah itu nanti berpengaruh terhadap pengagum loyal Anies, itu persoalan lain lagi. Hal-hal itu tak bisa dikalkulasikan secara linier dalam konteks elektoral.

Mengulang Jokowi

Saya memilih kata ‘semua’ di kalimat pertama tulisan ini karena memori kolektif waktu itu memang masih lekat dengan ingatan 2014. Saat Jokowi terpilih sebagai presiden pada Pilpres 2014, ia tak genap satu periode menjabat gubernur DKI. Catatan ini kemudian menjadi preseden. Bukan soal Jokowi tak menuntaskan tugasnya di Jakarta, tapi jabatan DKI 1 menjadi gerbang pembuka untuk memuluskan jalan menuju RI 1.

Momentum itu bisa saja terulang. Anies kini telah menuntaskan jabatannya satu periode penuh. Lima tahun persis pada 16 Oktober 2022 nanti. Maka dalam wawancaranya di channel Youtube Karni Ilyas, ia dengan percaya diri mengatakan bahwa track record adalah dasar penilaian terbaik dalam memilih seorang pemimpin.

Ia mengilustrasikan, janji atau visi misi yang dipaparkan seorang calon pemimpin harus ditopang rekam jejak. Aspek ini lah yang dianggap paling efektif untuk menimbang dan mengukur kapasitas seorang pemimpin. Anies ingin dilihat, dan tentunya dipilih, berdasarkan capaian kerjanya selama lima tahun di Ibu Kota.

Pertanyaannya, mengapa teori ini tidak disampaikan ketika ia maju sebagai calon gubernur 2017? Ya, sederhana saja jawabannya. Jika itu disampaikan, Anies tentu dalam posisi yang tidak diuntungkan. Karena Ahok-Djarot, dua-duanya, pasti lebih berpengalaman dalam mendirigen sebuah organisasi pemerintahan daerah.

Sementara Anies saat itu tidak genap dua tahun menjabat mendikbud di era periode pertama Jokowi. Sedangkan Sandiaga bahkan tak pernah mencicipi birokrasi. Dengan kata lain, tidak ada cara lain bagi Anies-Sandi selain harus ‘menjual’ visi, misi, dan janji. Cara terakhir itu yang kini dianggap Anies tidak cukup dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam memilih pemimpin.

Tetapi, itulah seni berpolitik. Anies tentu ingin mengeksploitasi poin positif yang menjadi kekuatannya dan itu tidak dimiliki calon lain. Ini berlaku untuk semua capres atau cawapres yang nanti akan berkompetisi. Artinya, publik yang perlu kritis.

Yang saya ingin katakan, semua narasi yang disampaikan para kontestan atau stakeholder politik lainnya tentu dalam koridor untuk meraih simpati dan kepercayaan seluas-seluasnya yang berujung pada efek elektoral. Tidak lebih atau kurang dari itu.

Meniru SBY

Jika Anies punya momentum hampir sama dengan Jokowi ketika 2014, ada kemiripan  pula dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang terpilih sebagai presiden pertama melalui pemilihan langsung pada 2004. Baik SBY maupun Anies, keduanya sama-sama dipersepsikan sebagai tokoh yang menjadi antitesis penguasa.

SBY menjabat sebagai menko polhukam ketika Megawati jadi presiden. Mega saat itu merasa dilangkahi oleh manuver SBY yang terbaca berkeinginan mencalonkan diri sebagai presiden pada Pilpres 2004. Sampai kemudian muncul kalimat legendaris dari almarhum Taufiq Kiemas, ‘jenderal kok kayak anak kecil’. Pernyataan itu yang kemudian menjadi ‘martir’ untuk mengerek elektabilitas SBY secara signifikan.

Maka tak heran ketika Anies terlihat dan terasa menikmati aksi PSI yang kerap memojokkannya. Serangan partai kecil yang bising dan dilihat publik sebagai pion rezim ini sangat mungkin justru menambah simpati publik kepada Anies.

Ada satu isu lain yang kini menjadi pertaruhan. Kasus Formula E. Di satu sisi, kepercayaan publik terhadap KPK yang tak begitu kuat saat ini, bisa jadi justru menguntungkan Anies. Kesan ‘dizalimi’ sebagai imbas dari rivalitas politik pasti akan menjadi salah satu pelor untuk counter narasi. Tapi tentu ada kekhawatiran di kubu Anies karena arena permainan berada di wilayah hukum.

Terlepas dari itu semua, Anies memang salah satu yang punya kans besar untuk menjadi penerus Jokowi. Momentum deklarasi beberapa hari lalu tidak lantas akan stagnan. Dinamika akan terus berkembang. Kejutan-kejutan akan datang silih berganti sampai capres-cawapres didaftarkan ke KPU. Termasuk isi pidato akhir Anies sebagai gubernur pada 16 Oktober nanti di Balai Kota. Kita simak saja semua dengan santai.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement