Sabtu 01 Oct 2022 06:06 WIB

Menteri PPPA: Indonesia Jadi Negara Asal, Transit Hingga Tujuan TPPO

Kasus TPPO sering menjadikan perempuan dan anak sebagai korban.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus Yulianto
Menteri PPPA RI I Gusti Ayu Bintang Puspayoga mengucapkan terima kasih atas komitmen Provinsi Kalteng yang akan mewujudkan Desa Ramah Peduli Anak.
Foto: istimewa
Menteri PPPA RI I Gusti Ayu Bintang Puspayoga mengucapkan terima kasih atas komitmen Provinsi Kalteng yang akan mewujudkan Desa Ramah Peduli Anak.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengutuk praktik tindak pidana perdagangan orang (TPPO) atau human trafficking. Dia menganggapnya, bentuk pelanggaran terburuk terhadap martabat dan hak asasi manusia.

Bintang menyampaikan, konstitusi Indonesia sangat menghormati dan melindungi hak asasi manusia. Namun hingga saat ini, kompleksitas TPPO di Indonesia masih dikategorikan tinggi karena banyaknya tantangan yang perlu diatasi dalam memberantas praktik tersebut.

"Indonesia menjadi negara asal, negara tujuan, dan negara transit perdagangan orang," kata Bintang dalam keterangan pers pada Jumat (30/9).

Bintang menuturkan, dalam TPPO, perempuan dan anak adalah kelompok yang paling rentan. Biasanya, mereka diperdagangkan menjadi tenaga kerja, dipaksa menikah atau dipaksa dalam prostitusi. Sementara itu, anak-anak kerap kali menjadi korban perdagangan melalu adopsi ilegal. 

"Kerentanan yang dihadapi oleh perempuan dan anak merupakan buah dari ketidaksetaraan gender. Perempuan dan anak memiliki akses yang sangat terbatas terhadap sumber daya penting seperti informasi, pendidikan, tanah, dan kesempatan kerja, sehingga mengakibatkan kemiskinan," ujar Bintang. 

KemenPPPA mendata kasus TPPO perempuan dan anak menunjukkan peningkatan sekitar tiga kali lipat pada tahun 2021 dibandingkan tahun 2019. Sehingga menciptakan dunia bebas dari TPPO tidaklah mudah. Sebagian besar pelaku TPPO adalah anggota sindikat yang terstruktur, teroganisir, dan sistematis. Ditambah, perkembangan teknologi juga dikembangkan sebagai media merekrut korban. 

"Menciptakan dunia yang bebas dari TPPO tentu saja dapat dilakukan dengan kontribusi dari berbagai macam pihak dan pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, akademinis, profesional, media, serta seluruh masyarakat," ucap Bintang. 

Sementara itu, Secretary General of Asia-Pacific Women of Faith Network (APWoFN), Yasmin Naoko Kawada mengungkapkan salah satu proyek unggulan dari Asian Conference of Religions for Peace (ACRP) ialah Anti-Human Trafficking. 

Praktik TPPO merupakan permasalahan global yang dipengaruhi dari berbagai macam faktor berlapis di seperti ekonomi, sosial, dan juga budaya di masing-masing negara. Berbagai bentuk praktik TPPO di setiap negara pun berbeda-beda, namun memiliki satu benang merah yang serupa, yaitu pelanggaran martabat dan hak asasi manusia.

"Banyak kasus TPPO yang sering terjadi menjadikan perempuan dan anak sebagai korban. Mereka tidak dapat menyuarakan aspirasi mereka karena hak asasinya sebagai manusia telah direnggut secara paksa," tutur Yasmin. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement