REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Peretasan terhadap akun pribadi milik jurnalis Narasi TV dinilai sebagai bentuk lemahnya negara dalam melindungi data pribadi warganya. Peristiwa ini harus menjadi perhatian serius, terlebih peretasan secara spesifik menyasar beberapa wartawan di waktu yang hampir bersamaan.
"Upaya peretasan kepada akun pribadi jurnalis harus segera diusut tuntas. Berbagai aksi peretasan yang sering terjadi harus menjadi perhatian serius dari pemerintah. Harus ada strategi khusus untuk mengantisipasi peretasan. Negara tidak boleh lemah lagi dalam melindungi akun pribadi warganya," ujar Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Taufiq R Abdullah, dalam keterangannya, Jumat (30/9/2022).
Tidak sedikit pihak menduga aksi peretasan akun pribadi jurnalis Narasi ini ada kaitannya dengan upaya pembungkaman jurnalis yang ingin menyampaikan fakta kebenaran ke publik. Apalagi, peretasan tersebut tidak menimpa satu dua orang saja, tetapi terus berkembang dari hari ke hari.
Saat pertama kali diumumkan, peretasan akun pribadi jurnalis Narasi menimpa 11 orang. Namun, sampai kemarin jumlah ini terus bertambah hingga mencapai lebih dari 30 orang. Dewan Pers dan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) bahkan menyebut aksi peretasan ini menjadi upaya paling masif yang pernah menimpa para jurnalis.
"Peretasan ini jelas merupakan bentuk pelanggaran hukum. Tentu aparat hukum harus segera bekerja mengusutnya. Pihak operator, di samping harus memulihkan akun yang diretas juga harus aktif untuk membantu melakukan investigasi," ujar Taufiq.
Mantan aktivis Lakpesdam NU ini menegaskan, jika aksi peretasan akun pribadi ini dilakukan sebagai respons ketidakpuasan terhadap berbagai produk jurnalis Narasi, maka jelas ini cara-cara yang tidak tepat dan harus segera ditinggalkan. Menurutnya, kebebasan pers sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari jalan demokrasi yang dipilih Indonesia. Jika ada pihak yang keberatan terhadap berbagai produk jurnalistik, kata Taufiq, maka harus diselesaikan sesuai aturan perundangan yang berlaku.
"UU Pers punya aturan soal hak jawab di mana pers wajib mengakomodasinya. Jika hak jawab dirasa tidak memuaskan, masih ada Dewan Pers yang bisa menerima pengaduan keberatan," katanya.
Menurutnya, penanganan kasus peretasan terhadap kru Narasi ini menjadi ujian bagi profesionalitas aparat penegak hukum dalam melindungi warga negaranya. "Aparat penegak hukum sudah dibekali dengan seperangkat regulasi yang cukup untuk menindak para penjahat cyber. Ada UU ITE dan terakhir ada UU Perlindungan Data Pribadi yang baru saja disahkan," ujar Taufiq.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo menyatakan, tidak ada anggota kepolisian yang terlibat peretasan akun digital milik sejumlah awak redaksi Narasi TV. Dedi mengaku telah berkoordinasi dengan Dewan Pers mengenai kasus peretasan itu dan meminta para korban peretasan untuk membuat laporan polisi.
"Kalau dugaan (peretasan) tidak ada. Sudah saya koordinasikan dengan Dewan Pers untuk dapat melaporkan ke Polda (Metro Jaya) terkait peretasan tersebut," ujar Dedi.
Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid sebelumnya meminta Polri mengusut dugaan adanya anggota Polri yang melakukan peretasan terhadap jurnalis Narasi TV. Bahkan, menurut Usman Hamid, dalam perkara ini, informasi yang beredar itu cukup serius bahwa Narasi TV diserang karena mengkritisi kepolisian dalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J dan juga mengkritisi Ferdy Sambo.
Dewan Pers meminta aparat penegak hukum untuk proaktif menyelidiki kasus peretasan terhadap akun digital awak redaksi Narasi. "Meminta aparat penegak hukum supaya proaktif untuk menyelidiki kejadian peretasan ini dan segera menemukan pelakunya serta mengusut tuntas," kata Wakil Ketua Dewan Pers M Agung Dharmajaya.
Dewan Pers menerima laporan dari beberapa konstituen bahwa telah terjadi peretasan terhadap akun digital puluhan awak redaksi Narasi. Kejadian ini merupakan peristiwa peretasan terbesar yang pernah dialami awak media nasional.