Kamis 29 Sep 2022 18:45 WIB

Gagasan Restorative Justice Johanis Tanak Dinilai Aneh

Kepentingan korban dalam tipikor tidak bisa diakomodasi restorative justice.

Rep: Flori Sidebang/ Red: Ilham Tirta
Calon Pimpinan KPK Pengganti Lili Pintauli Siregar, Johanis Tanak.
Foto: Prayogi/Republika
Calon Pimpinan KPK Pengganti Lili Pintauli Siregar, Johanis Tanak.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman merasa aneh dengan gagasan Wakil Ketua KPK terpilih, Johanis Tanak yang mengusulkan restorative justice atau keadilan restoratif dalam kasus tindak pidana korupsi (tipikor). Menurut dia, hal ini tidak tepat diterapkan dalam penanganan tipikor.

"Karena restorative justice itu sangat berpersepektif pada korban gitu ya. Sedangkan korban dari tipikor itu siapa? Itu kan masyarakat luas. Sehingga tidak mungkin adanya semacam perdamaian antara pelaku dan korban," kata Zaenur saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (29/9/2022).

Baca Juga

Menurut dia, dalam tindakan tipikor, kepentingan korban juga tidak bisa diakomodasi di dalam proses restorative justice. Zaenur pun mempertanyakan, agenda seperti apa yang akan dibawa oleh Johanis Tanak dalam masa kepemimpinannya selama satu tahun kedepan di KPK. Sebab, usulannya terkait restorative justice tidak relevan dengan tipikor.

"Jadi menurut saya restorative justice itu sama sekali tidak relevan untuk jenis tindak pidana berupa tindak pidana korupsi. Itu sudah menunjukkan bahwa Johanis Tanak ini memang masih banyak tanda tanya dari publik, akan membawa agenda apa di KPK dalam satu tahun ini?" ujar dia.

Johanis Tanak dan I Nyoman Wara diajukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada DPR sebagai calon pemimpin KPK. Keduanya bakal menggantikan posisi Lili Pintauli Siregar yang berulang kali tersandung kasus gratifikasi. Komisi III DPR kemudian memutuskan Johanis terpilih menjadi Wakil Ketua KPK.

Dalam uji kelayakan dan kepatutandi Komisi III DPR, Johanis Tanak mewacanakan penggunaan restorative justice dalam kasus tindak pidana korupsi. Dalam Pasal 4 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor menjelaskan, pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana. Sehingga penghentian penyidikan dan penuntutan perkara korupsi karena alasan telah mengembalikan kerugian negara merupakan alasan yang tidak tepat.

Namun, Johanis berpkir lain. Menurut dia, UU itu dapat dikesampingkan. "Hal itu (restorative justice) sangat dimungkinkan berdasarkan teori ilmu hukum yang ada bahwasanya peraturan yang ada sebelumnya di kesampingkan oleh peraturan yang ada setelah itu," ujar Johanis, Rabu (28/9/2022).

Ia ingin menerapkan restorative justice menggunakan UU tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Meskipun restorative justice itu belum diatur dalam UU Tipikor, kata dia, tetapi bisa diisi dengan suatu peraturan untuk mengisi kekosongan hukum tersebut. Salah satunya dengan peraturan presiden (Perpres).

"Nantinya ketika ada orang yang melakukan tindak pidana korupsi, saya berharap dia dapat mengembalikkan uang tersebut, tetapi dia kena denda juga, kena sanksi juga," ujar Johanis.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement