REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi III DPR telah menetapkan Johanis Tanak sebagai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terpilih pengganti Lili Pintauli Siregar. Dalam uji kelayakan dan kepatutannya, ia menyampaikan idenya terkait penggunaan restorative justice atau keadilan restoratif dalam korupsi.
Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan, pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana. Sehingga penghentian penyidikan dan penuntutan perkara korupsi karena alasan telah mengembalikan kerugian negara merupakan alasan yang tidak tepat.
"Namun hal itu (restorative justice) sangat dimungkinkan berdasarkan teori ilmu hukum yang ada, bahwasanya peraturan yang ada sebelumnya di kesampingkan oleh peraturan yang ada setelah itu," ujar Johanis di Ruang Rapat Komisi III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (28/9/2022).
Johanis mengatakan, ia akan mencoba menggunakan restorative justice dalam korupsi dengan menggunakan UU tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Usai uji kelayakan dan kepatutan, Johanis kembali membandingkan penggunaan keadilan restoratif kepada Mike Tyson dalam kasus pemerkosaan pada 1992.
Saat itu, kata dia, Tyson membayarkan kepada negara sebelum masa hukumannya habis.
"Sebelum habis masa hukuman dia membayar kepada negara, setelah dia membayar dia bebas. Setelah bebas dia takut melakukan perbuatan kejahatan, karena apa? "saya capek cari duit, saya ditangkap, hanya untuk bayar lagi"," ujar Johanis.
Keadilan restoratif dalam kasus korupsi disebutnya tetap memberikan efek jera kepada pelaku. Karena mereka harus membayarkan denda dan kerugian negara atas korupsi yang dilakukannya.
"Sekarang di Belanda, rutan kosong, karena berapa besar biaya untuk memproses satu proses perkara. Sementara yang namanya korupsi, negara berusaha jangan sampai uang negara keluar, tapi dengan proses begitu berapa banyak uang negara yang harus keluar," ujar Johanis.
Menurutnya, penerapan keadilan restoratif akan membuat negara tidak akan mengeluarkan biaya dalam memproses perkara kasus korupsi. Ia pun membandingkanya lagi dengan kasus Hambalang, ketika negara mengeluarkan biaya untuk perkara tersebut dan di samping itu juga tak maksimal dalam mengembalikan kerugian negara yang dihasilkan.
"Kalau uang negara sudah keluar, tambah lagi proses berapa lagi uang negara keluar. Ini yang harus dipikirkan negara, sehingga dana negara untuk pembangunan demi keadilan masyarakat bangsa dan negara itu tercapai," ujar Johanis.
Menurut dia, meskipun restorative justice itu belum diatur dalam UU Tipikor, tetapi bisa diisi dengan suatu peraturan untuk mengisi kekosongan hukum tersebut. Salah satunya dengan peraturan presiden (Perpres).
"Nantinya ketika ada orang yang melakukan tindak pidana korupsi, saya berharap dia dapat mengembalikkan uang tersebut, tetapi dia kena denda juga, kena sanksi juga," ujar Johanis.
Ia mencontohkan, kalau koruptor itu merugikan negara Rp 10 juta, dia harus mengembalikkan Rp 20 juta. "Jadi uang negara tidak keluar, PNBP (penerimaan negara bukan pajak) untuk negara ada," katanya.