REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kepolisian RI masih belum melakukan sidang komisi kode etik terhadap Brigjen Hendra Kurniawan dan dua tersangka lain, kasus obstruction of justice dalam penyidikan tewasnya Brigjen Nofriansyah Yosua alias Brigadir J. Meski ditunda, pakar hukum dari Universitas Trisaksi meminta agar kasus ini terus dikawal.
“Apapun keadaannya kasus ini harus dikawal, walaupun saksi kunci dikabarkan berhalangan hadir, sehingga sidang kode etik Brigjen HK ditunda, namun semestinya penundaan ini bukan pula untuk mencoba menghindar atau mencari alasan-alasan baru lagi untuk mengecoh komisi sidang etik, secara kasus ini telah menjadi perhatian masyarakat luas, mencederai nurani kemanusiaan, sehinggga penangannya sidang etik Brigjen HK harus dilakukan dengan serius, terbuka dan tegas,” kata Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, Kamis (22/9/2022).
Karena sangat tampak bahwa peran HK jelas sejak awal ada keinginan yang sama dengan FS, bahwa HK sebagai salah seorang perwira tinggi sudah berada di TKP paling awal pasca kejadian penembakan Brigadir J, bahkan juga ikut memerintahkan "mengamankan" CCTV" yang diduga berujung pada memanipulatif kisah CCTV rusak sebagai upaya untuk menghilangkan barang bukti.
“Jadi tampak kualitas peran pelaku (HK) di sini yang juga menjadi bagian akar persoalan kejahatan karena apabila tidak dibantu oleh pelaku setidaknya peristiwa manipulatif tersebut dapat dihindari atau dapat dicegah. Namun ini tidak dilakukan oleh pelaku, malah pelaku ikut dalam satu barisan dengan perbuatan FS, ini adalah kesalahan berat,” kata Azmi.
“Jadi jelas peran pelaku juga secara faktual jadi bagian dari personil pengendali usai kejadian penembakan Brigadir J, sehingga kepada pelaku tentunya dapat dibebankan pertanggungjawaban hukum secara etik maupun secara pidana,” kata Azmi.
Karena kualitas peran pelaku yang juga merupakan sangat menentukan dan telah terbukti adanya keinginan yang sama dengan perbuatan FS, maka menurut Azmy, HK layak dijatuhi sanksi PTDH (pemberhentian tidak dengan hormat) di sidang etik karena perbuatan pelaku yang sudah tahu resikonya.
Apalagi tambahnya, jika benar tim sus menemukan adanya bukti keterkaitan pelaku dengan salah satu bos mafia judi besar hingga dapat mempergunakan fasiltas jet pribadi, maka ini akan memperluas karakteristik kejahatan ini. Karena tindakan ini juga merupakan pelanggaran sekaligus tindakan pidana yang mencederai rasa keadilan.
“Tentunya ini bisa menjadi kausalitas dan perlu digali lagi keterkaitannya, sebab hal ini dapat menjadi poin tambahan kesalahan sekaligus faktor yang memberatkan hukuman atas tindakan pelaku yang kegiatannya sebagai salah satu penegak hukum, kok bisa berkolaborasi dengan usaha yang bertentangan dengan jabatannya,” kata Azmi.
“Jika tim sus menemukan fakta hukum dan alat bukti itu cukup dan benar, maka sanksi PTDH semakin layak pula dikenakan atas perbuatan pelaku,” tambahnya.