REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar, Amri Amrullah
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian diketahui menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 821/5292/SJ yang memberikan kewenangan pelaksana tugas (Plt), penjabat (Pj), maupun penjabat sementara (pjs) kepala daerah memberhentikan hingga memutasi pegawai tanpa izin dari Kemendagri. Izin itu tertuang dalam poin nomor empat SE tersebut, berbunyi "Berkenaan dengan ketentuan tersebut di atas, dengan ini Menteri Dalam Negeri memberikan persetujuan tertulis kepada Pelaksana Tugas (Plt), Penjabat (Pj), dan Penjabat Sementara (Pjs) Gubernur/Bupati/Wali Kota untuk melakukan":
- Pemberhentian, pemberhentian sementara, penjatuhan sanksi dan atau tindakan hukum lainnya kepada pejabat/aparatur sipil negara di lingkungan pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota yang melakukan pelanggaran disiplin dan atau tindak lanjut proses hukum sesuai peraturan perundang-undangan.
- Persetujuan mutasi antardaerah dan atau antar-instansi pemerintahan sesuai dengan ketentuan dan persyaratan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Penerbitan SE Mendagri di atas menuai protes dari kalangan DPR khususnya Komisi II DPR. Sebagian menilai, SE yang diteken Tito pada 14 September 2022 itu, berpotensi menimbulkan ketidakkonfusifan di berbagai pemerintahan daerah.
Namun Tito bergeming atas desakan pencabutan atau revisi atas SE yang diterbitkannya. Hari ini, Tito menegaskan, SE tersebut bukan upaya pihaknya memberikan kewenangan tak terbatas kepada pada pejabat sementara kepala daerah.
"Jadi isu yang berkembang seolah-olah Mendagri memberikan kewenangan penuh, tidak terbatas kepada kepala daerah untuk melakukan pemberhentian dan mutasi jabatan, tidak benar," tegas Tito dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR, Rabu (21/9/2022).
Ia mengatakan, ASN yang dapat diberhentikan dan dimutasikan adalah mereka yang melakukan pelanggaran disiplin dan/atau tindak lanjut proses hukum sesuai peraturan perundang-undangan. Hal tersebut tertuang dalam poin 4a Surat Edaran tersebut
Selain itu, ia menjelaskan adanya poin 4b. Poin tersebut menjelaskan persetujuan mutasi antardaerah dan/atau antarinstansi pemerintahan sesuai dengan ketentuan dan persyaratan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
"Adanya kekhawatiran banyak pihak akan terjadi politisasi karena kewenangan ini. Kewenangannya hanya dua aja, menandatangani yang sudah berhadapan dengan masalah hukum dan harus diberhentikan," ujar Tito.
Di samping itu, SE tersebut hadir untuk memberikan penyederhanaan dalam proses pemberhentian dan/atau mutasi ASN yang bermasalah. Pasalnya sebelum adanya surat tersebut, pemerintah daerah harus membuat surat izin tertulis terkait pemberhentian atau mutasi ASN dan harus ditandatangani olehnya.
Kemendagri menilai hal tersebut justru memperlambat proses pemberhentian dan mutasi ASN tersebut. Padahal dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil diatur, tidak boleh terjadi kekosongan bila ada pejabat yang ditahan karena masalah hukum.
"Kalau menunggu ke kita, banyak sudah surat yang masuk nih yang mutasi antardaerah itu kepala daerahnya harus tanda tangan, yang kepala daerah awal dan kepala daerah tujuan juga harus tanda tangan yang menerima," ujar Tito.
"Sehingga yang bisa disimpelkan, simpelkan. Itulah hanya masalah teknis simplifikasi saja," sambung mantan Kapolri itu.
Tito memastikan adanya pengawasan agar kuasa tak terbatas pejabat sementara di daerah tidak terjadi.
"Kalau ada Pj yang sewenang-wenang kita perketat, tiga bulan sekali mereka berikan pertanggungjawaban," ujar Tito.