Rabu 14 Sep 2022 16:15 WIB

Jimly Kritik Jubir MK Tafsirkan Masa Jabatan Presiden Seenaknya Sendiri

Prof Jimly menuding Fajar Laksono merusak citra Mahkamah Konstitusi.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Erik Purnama Putra
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Prof Jimly Asshiddiqie.
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Prof Jimly Asshiddiqie.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Prof Jimly Asshiddiqie mengkritisi komentar Juru Bicara MK, Fajar Laksono yang menyebut tak ada larangan presiden yang telah terpilih dua periode, tidak boleh mencalonkan sebagai calon wakil presiden di pemilihan selanjutnya. Menurut Jimly, Fajar tak punya hak menafsirkan Pasal 7 UUD 1945 tersebut.

Mantan ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tersebut mengkritik Fajar yang menyebut presiden boleh mengajukan diri lagi sebagai calon wakil presiden. Pernyataannya itu kemudian viral atau menjadi berita, hingga disalahartikan oleh banyak masyarakat.

"Dari mana itu dasarnya, dia bicara itu. Dia itu jubir yang justru merusak citra MK. Jadi saran saya staf di pengadilan, baik MA, MK, maupun pengadilan di mana pun jangan ikut-ikut bicara di depan publik yang tidak ada kewenangannya apalagi dalam persoalan materi perkara," kata Jimly kepada Republika di Jakarta, Rabu (14/9/2022).

Anggota DPD tersebut menilai, apa yang disampaikan Fajar sebenarnya berpotensi menjadi materi perkara di MK. Dan tugas humas, sambung dia, tidak berhak berbicara dan membuat penafsiran sendiri. "Saya rasa ini harus ditegur oleh MK," kata guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia itu.

Jimly juga mengingatkan agar publik jangan mudah menyebarkan pernyataan pribadi Fajar itu. Dia meminta siapa pun jangan percaya dengan omongan Fajar, karena hanya merupakan pendapat staf, bukan putusan hakim MK. "Jadi kalau hanya pernyataan dari Humas atau Jubir jangan dijadikan referensi, jangan dikutip. Apalagi jadi berita dan sebagai sumber informasi," kata Jimly.

Eks Ketua Umum ICMI tersebut menganggap, pernyataan Fajar pantasnya hanya didiskusikan di level mahasiswa. Menurut Jimly, kalau itu didiskusikan di level pelaksana hukum negara, apalagi sekelas staf di MK, hal itu tidak benar.

Jimly menjelaskan, di Pasal 7 UUD 1945, jabatan presiden dan wakil presiden itu satu-kesatuan. Jadi, dia menekankan, membaca konstitusi itu level pertama, membaca harfiah atau leterlek (letterlijk). Bunyi harfiahnya, presiden hanya boleh dua periode. Dan pada perubahan pertama di 1999 itu aturannya ketat sekali.

Jadi bunyinya, "Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun. Dan sesungguhnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama 'hanya', untuk satu kali masa jabatan. Jadi hanya boleh untuk dua kali periode."

Dari situ, sebut Jimly, maka presiden dan wakil presiden itu satu paket. Karena itu, pada periode ketiga presiden dan wapres itu, mutlak tidak boleh maju lagi, mau dia sebagai capres atau mau sebagai cawapres, itu tetap tidak boleh. "Karena capres-cawapres itu satu paket," ucap Jimly.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement