Selasa 06 Sep 2022 14:18 WIB

Mendesak, Aksi Afirmatif Bagi 620 Korban Korupsi Struktural di Aceh

Anak-anak korban bencana Tsunami Aceh butuh afirmasi.

Warga berdoa saat berziarah menjelang bulan Ramadhan di kuburan massal korban gempa dan tsunami, Ulee Lheu, Banda Aceh, Aceh, Kamis (31/3/2022). Ziarah kubur menjadi salah satu tradisi menjelang bulan suci Ramadhan untuk mendoakan keluarga yang telah meninggal dunia.
Foto:

Lingkungan korupsi yang kondusif

Korupsi di Indonesia, menurut seorang Dr R. Kroeze (2021) bisa dijejaki melalui sejarah administrasi hukum dari abad-abad kolonial. Namun dalam Islam, korupsi itu persoalan sosial yang melibatkan suap, ekstorsi, dan nepotisme antar individual. Jadi, umurnya tentu lebih tua dari sistem pemerintahan kolonialisme. 

Syed Hussein Al Attas dalam bukunya the sociology of corruption menyebutkan bahwa korupsi itu adalah penyalahgunaan tugas publik dengan melakukan tindakan melanggar hukum demi keuntungan pribadi, yang dilakukan secara rahasia, dengan berkhianat dan menipu. Ini tentu pendapat yang benar jika menilik dari budaya Islam yang memandang korupsi itu ada dalam hubungan antara individual. Itu sebabnya, ada logika bahwa demi membangun pemerintahan yang bebas korupsi, perbaikan harus dimulai dari individual. Kemudian disusul dengan perbaikan dalam keluarga, lalu perbaikan komunitas dan masyarakat yang lebih besar.

Sejauh ini kita berpikir bahwa korupsi itu perbuatan dosa yang dilakukan pribadi-pribadi untuk diri mereka sendiri secara terpisah antara satu dengan lainnya. Oleh karenanya, ini yang barangkali menyebabkan persoalan korupsi di Indonesia, khususnya Kawasan provinsi seeprti Aceh itu sudah dianggap selesai dengan menelanjangi track-recorddokumen-dokumen pegawai terkait dan menangkap penjahat-pejahat berpangkat bawah.     

Untuk menangkap penjahat kelas kakap, sepertinya harus selalu membutuhkan arahan langsung dari Ibukota. Arahan yang sebenarnya juga tidak selalu berujung penangkapan kelas kakap ditingkat  provinsi. Seperti yang kita lihat dalam kasus korupsi intelektual yang mengorbankan Dr. Saiful Mahdi beberapa waktu lalu. Amnesti presiden itu baru tiba pada keadilan setelah 3 tahun sang korban pontang panting berjuang secara independen.

Realita penyelidikan pada jaringan korupsi antara provinsi dan ibukota yang masih belum banyak dilakukan semakin mempertebal sikap pesimis untuk bisa menumpas korupsi tanpa pura-pura adil dengan keuntungan sistemik salah satu golongan. 

Lim Mah Hui, seorang professor multi-disiplinari kelahiran Penang, dalam kritiknya terhadap buku The Sociology of Corruption, menonjolkan soal korupsi sebagai faktor institusi dan sebab-sebab struktural yang mengizinkan terbangunnya kondisi kondusif korupsi secara sistemik. 

Institusi adalah model lembaga dengan sistem administrasi dan pengurusan yang diperkenalkan sejak abad hegemoni barat di Asia Tenggara pada abad ke-18. Dengan segala cacat eksperimen dan pembentukannya sejak 250 tahun yang lalu, seluruh negara bekas jajahan mewarisi model institusi ini yang kemudian menjadi tulang belakang pemerintahan berbangsa dan bernegara. Tidak hanya lembaga tapi juga mental kolonialiti juga ikut terbawa dalam sistem kepengurusan institusi-instusi tersebut. 

Dalam kasus Aceh pasca damai, perlindungan patron lebih banyak terlihat dalam struktur politik Aceh yang digunakan untuk kepentingan personal dan kelompok. Ini menyebabkan defisit demokrasi terkait transparansi dan akuntabiliti. Perlindungan patron politik sebelumnya tidak dikenal dalam mesin juang GAM, sebagaimana yang dinyatakan oleh Gyda M. Sindre dan Nicholas Ross dalam laporannya berjudul Case Study of the Aceh Peace Process: Inclusion, Participation, and Representation (2021). Pemerintahan Aceh pasca-damai kemudian menyerap gaya lindung patron politik tersebut dan berlanjut pada gaya korup struktural. 

Oleh karena itu tidak adil menangkap pejabat kelas bawah dan mahasiswa/mahasiswi yang dominannya bukan orang berpengaruh itu, melainkan memusatkan investigasi bagi kelas kakap yang jaringan koneksi dan pengaruhnya dapat ditelusuri dari sela-sela kepengurusan institusi provinsi dan ibukota, seperti struktur perlindungan patron di dinas terkait, lembaga aparat, dan institusi-institusi yang kerap berkaitan dengan anggaran negara dan pembangunan infrastruktur provinsi. 

Bukankah mengherankan, bagaimana bisa 620 mahasiswa-mahasiswi tersebut melakukan tindakan korupsi dengan kesadaran menipu dan menyuap tanpa kelemahan sistem yang mengizinkan korupsi dalam struktur institusi? Apakah bukti-bukti berdasarkan ketidak lengkapan berkas itu cukup adil untuk menjatuhkan penghakiman bahwa mereka semua korup, sedangkan Aceh yang baru damai 18 tahun itu masih belum bisa memahami peran korelasi keuntungan antara lembaga-lembaga pemerintah untuk sebuah program beasiswa?.   

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement