REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komnas Perempuan menegaskan urgensi pengesahan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. Penghilangan paksa merupakan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang pernah terjadi di Tanah Air.
Komnas Perempuan mencatat beberapa dampak khas yang dialami perempuan korban secara langsung dan korban tidak langsung. Sebagai korban langsung, perempuan berpotensi mengalami kekerasan seksual saat penangkapan atau penahanan. Perempuan korban langsung dan perempuan anggota keluarga dari korban penghilangan paksa juga menghadapi penderaan psikologis dan disfungsi keluarga, stigmatisasi, beban majemuk berlapis dan ketimpangan gender.
"Pada perempuan korban, kerentanan dan dampak yang dihadapi bersifat khas dan berdimensi gender. Karenanya, pengesahan Konvensi Penghilangan Paksa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari upaya penghapusan segala bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan," kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam keterangan yang dikutip Republika.co.id pada Sabtu (1/9).
Komnas Perempuan menyatakan penghilangan paksa sudah pernah terjadi sepanjang sejarah Indonesia. Tercatat, dalam peristiwa politik 1965/1966 telah terjadi pembantaian massal di berbagai wilayah di Indonesia yang mengakibatkan ribuan orang hilang.
Beberapa peristiwa lainnya yang terkait penghilangan paksa antara lain Tragedi Tanjung Priok 1984, Tragedi Talangsari 1989, Penembakan Misterius (Petrus) tahun 1980-an, Darurat Operasi Militer di Aceh (1990-1998), Darurat Operasi Militer di Papua, Tragedi Mei 1998.
"Mengingat dampak berkelanjutan selain terhadap korban, juga keluarga yang mengalami penderitaan psikis, sosial dan ekonomi akibat tidak mengetahui di mana dan bagaimana nasib dari anggota keluarganya," ujar Andy.
Andy juga menegaskan penghilangan paksa merupakan persoalan global pelanggaran HAM. Sehingga sebagian negara-negara di dunia telah dinyatakan dalam pengesahan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. Instrumen HAM internasional ini disahkan oleh Majelis Umum PBB pada 20 Desember 2006 dan mulai berlaku pada 23 Desember 2010.
Konvensi ini juga menyediakan panduan komprehensif bagi negara anggota untuk melakukan pencegahan dan perlindungan setiap orang dari penghilangan paksa serta mekanisme hak pemulihan bagi korban dan keluarganya. "Namun demikian, belum semua negara anggota PBB termasuk Indonesia meratifikasi Konvensi Penghilangan Paksa. Padahal, ajuan untuk meratifikasi Konvensi ini telah direkomendasikan kepada pemerintah dan DPR RI sejak periode 2004-2009," ucap Andy.
Oleh karena itu, Komnas Perempuan mendorong Pemerintah segera meratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. Kemudian, Komnas Perempuan mengajak masyarakat mengkampanyekan menentang penghilangan paksa sebagai bentuk dukungan mencegah keberulangan penghilangan paksa di Indonesia.
"Mendesak Pemerintah Republik Indonesia menyelenggarakan pemulihan segera korban dan keluarga penghilangan paksa, khususnya perempuan, termasuk layanan kesehatan, rehabilitasi dan memberikan kompensasi terhadap korban penghilangan paksa dan anggota keluarganya," tegas Andy.