REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Untuk orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam peristiwa keji yang baru-baru ini terjadi di Mimika, Papua. Pada 22 Agustus 2022, terdapat 4 warga sipil menjadi korban mutilasi yang diduga dilakukan oleh 6 (enam) prajurit TNI dari kesatuan Brigade Infanteri Raider 20/Ima Jaya Keramo dengan melibatkan 4 (empat) warga sipil.
"Berdasarkan informasi yang kami dapatkan, Arnold Lokbere, Irian Nirigi, Lemaniel Nirigi, dan Atis Tini diduga dibunuh dan dimutilasi menjadi beberapa bagian, sebelum dimasukkan ke dalam karung dan dibuang ke Sungai Pigapu, Distrik Iwaka," ungkap Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti, dalam siaran resminya, dikutip Ahad (4/9/2022).
Lalu, dalam proses pencarian awal seluruh jenazah yang dilakukan oleh keluarga korban, tidak ada satupun aparat kepolisian yang terlibat untuk turut mendampingi keluarga korban. Padahal pihak keluarga sebelumnya telah meminta kepada Polres Mimika untuk melakukan pencarian bersama. Bahkan, ketika jenazah korban ditemukan, keluarga korban sempat tidak diberikan akses untuk melihat kondisi jenazah.
"Melalui peristiwa ini, tentunya memperlihatkan bahwa lagi-lagi kesewenang-wenangan militer terjadi akibat pendekatan militeristik oleh pemerintah dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di Papua, dan pada akhirnya menyebabkan pelanggaran HAM yang sangat fundamental yakni hak untuk hidup dalam kasus ini, yang sesungguhnya tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun," tegas Fatia.
"Pelanggaran instrumen yang kami maksud mulai dari Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia hingga Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik," sambungnya.
Oleh karena itu, maka sudah sepatutnya para pelaku dapat diproses dan diadili melalui mekanisme peradilan umum, bukan peradilan militer. Sebab tindakan para terduga pelaku merupakan pelanggaran hukum pidana.
"Apabila proses hukum melalui mekanisme peradilan militer terhadap sejumlah prajurit TNI tetap dilaksanakan, maka menurut kami akan memberikan ruang ketidakadilan bagi keluarga korban. Sebab selama ini proses peradilan militer cenderung tertutup dan kerap kali terjadi praktik impunitas," tuturnya.
Misalnya saja beberapa kasus yang terjadi di Intan Jaya, ada kasus penembakan terhadap Pendeta Yeremia dan kasus penghilangan secara paksa serta pembunuhan terhadap Luther Zanambani dan Apinus Zanambani maupun Sem Kobogau. Hingga saat ini, belum diketahui secara pasti perkembangan kasus tersebut, apakah para pelakunya sudah diadili atau tidak.
Berkaitan dengan proses hukum yang sedang berjalan, Kontras mendorong pemeriksaan yang akan dilakukan harus dapat diarahkan juga kepada komandan kesatuan Brigade Infanteri Raider 20/Ima Jaya Keramo, mengingat dalam institusi militer dikenal adanya pertanggungjawaban komando. Selain itu, KontraS juga mendesak agar proses hukum tersebut dilakukan secara terbuka dengan memberikan akses seluas-luasnya bagi keluarga korban.
"Berdasarkan berbagai informasi dan penjelasan kami di atas, maka kami mendesak, Presiden menghentikan pendekatan militeristik dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di Papua. Sebab pendekatan keamanan terbukti tidak berhasil dalam menyelesaikan masalah dan justru berakibat pada masifnya berbagai peristiwa pelanggaran HAM," tegas Fatia.
KontraS juga mendesak, Polda Papua segera melakukan proses penyelidikan dan penyidikan dalam peristiwa ini secara tuntas, tidak terkecuali kepada para prajurit TNI yang terlibat. Serta memberikan akses hukum dan informasi seluas-luasnya kepada keluarga korban terkait proses hukum yang sedang berjalan.
Kemudian, kepada Panglima TNI juga diminta segera memberhentikan secara tidak hormat kepada seluruh prajurit TNI yang diduga terlibat dalam peristiwa keji ini. KontraS juga mendesak kepada Panglima TNI, untuk memberikan informasi perkembangan kasus terkait kasus penembakan terhadap Pendeta Yeremia dan kasus penghilangan secara paksa serta pembunuhan terhadap Luther Zanambani dan Apinus Zanambani maupun Sem Kobogau.
"KontraS juga meminta Komnas HAM melakukan investigasi secara mendalam atas dugaan pelanggaran HAM yang terjadi berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lebih lanjut, kami mendorong hasil dari pendalaman atau investigasi yang dilakukan dapat diungkap kepada publik," tegas Fatia.