REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Pers Prof Azyumardi Azra menghadiri sidang kasus "Jin buang anak" secara virtual dengan terdakwa Edy Mulyadi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Selasa (30/8/2022). Prof Azra menjelaskan kedudukan kasus ini di mana Edy mengeklaim hanya menjalankan tugas jurnalistiknya.
Prof Azra menjelaskan, salah satu kegiatan berkategori kegiatan jurnalistik yaitu menyampaikan berita yang dimuat melalui media massa berbadan hukum pers. Ia menekankan suatu laporan berita yang tidak didasarkan melalui institusi berbadan hukum pers maka tidak masuk kategori karya jurnalistik.
"Wartawan jadi narasumber kegiatan lembaga tertentu, nah kegiatan dia itu apa digolongkan kegiatan jurnalistik?" tanya hakim ketua Adeng AK dalam persidangan itu.
"Kalau dia sebagai narasumber bukan kegiatan jurnalistik, lebih kegiatan intelektual. Jadi kegiatan jurnalistik kalau dia bikin laporan yang dia ikuti sebagai narasumber lalu dimuat media maka jadi karya jurnalistik," jawab Prof Azra.
Pernyataan soal "Jin buang anak" terucap ketika Edy menghadiri kegiatan diskusi mengenai Ibu Kota Negara (IKN) yang disiarkan di Youtube. Edy mengeklaim hadir di acara itu sebagai narasumber. "Kalau tidak bikin laporan maka bukan keterlibatan dalam pembuatan karya jurnalistik," lanjut Prof Azra.
Mendengar keterangan itu, Edy menanyakan laporan yang disampaikan dalam tayangan Youtube apakah termasuk bentuk karya jurnalistik. Prof Azra kembali mengingatkan soal urgensi legalitas media massa yang memublikasikan laporan itu.
"Masuk dalam yang dilindungi (UU Pers) kalau ada lembaga yang berbadan hukum dalam pemuatan di web itu. Kalau tidak miliki badan hukum pers maka tidak dianggap karya jurnalistik yang harus dilindungi Dewan Pers. Makanya saya anjurkan supaya bikin badan hukum persnya supaya bisa dilindungi," ujar Prof Azra.
Selain itu, Prof Azra menanggapi tim kuasa hukum Edy yang mempertanyakan sengketa produk jurnalistik yang dilaporkan langsung ke polisi bukan ke Dewan Pers. Menurut Prof Azra, hal itu memang bisa saja terjadi pada media massa yang tidak berbadan hukum pers.
"Zaman media sosial banyak info (berita) tidak jelas badan hukumnya, tapi kemudian beredar di publik. Itu bisa dilaporkan pihak tertentu. Dewan Pers tidak bisa lindungi karena berita disebarkan oleh lembaga yang bukan berbadan hukum pers," tegas Prof Azra.
JPU mendakwa Edy Mulyadi melanggar Pasal 14 ayat (1) UU RI No 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana subsider Pasal 14 ayat (2) UU RI No 1/1946 atau kedua Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) UU RI No 19/2016 tentang Perubahan atas UU RI No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Ketiga Pasal 156 KUHP.
Diketahui, eks calon legislatif itu ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Bareskrim Polri pada akhir Januari 2022. Kasus yang menjerat Edy bermula dari pernyataannya soal lokasi Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan yang disebut tempat jin buang anak. Pernyataan Edy sontak memancing reaksi keras sebagian warga Kalimatan. Rizky Suryarandika