Selasa 30 Aug 2022 11:02 WIB

Pemerintah Diminta tak Lupakan Efek Kenaikan BBM 17 Tahun Lalu

Kenaikan inflasi akibat harga BBM akan menimbulkan kelompok miskin bertambah.

Kendaraan mengantre saat mengisi BBM jenis Pertalite di salah satu SPBU di Jakarta, Senin (29/8/2022). Pemerintah berencana menyesuaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) khususnya jenis BBM Pertalite dan Solar bersubsidi. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Kendaraan mengantre saat mengisi BBM jenis Pertalite di salah satu SPBU di Jakarta, Senin (29/8/2022). Pemerintah berencana menyesuaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) khususnya jenis BBM Pertalite dan Solar bersubsidi. Republika/Thoudy Badai

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizkyan Adiyudha, Febrianto Adi Saputro, Novita Intan, Antara

Rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dipastikan akan berdampak pada kenaikan inflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) mengingatkan pemerintah untuk belajar dari kenaikan harga BBM di tahun 2005.

Baca Juga

Kepala BPS Margo Yuwono di Jakarta, Selasa (30/8/2022), mengatakan 17 tahun lalu pemerintah menaikkan harga bensin hingga 87,5 persen dan solar 104 persen. Akibatnya saat itu terjadi inflasi tinggi yang berdampak pada melemahnya daya beli masyarakat. Hal tersebut disampaikan Margo dalam rapat koordinasi pengendalian inflasi daerah di kantor Kemendagri.

Dia melanjutkan, inflasi tersebut membuat konsumsi rumah tangga yang menjadi penopang pertumbuhan ekonomi menurun dari 4 persen ke 3,2 persen. "Jadi ini perlu mendapatkan perhatian kita semua jangan sampai inflasi tinggi di masing-masing daerah dan menggerus daya beli sehingga ekonomi turun signifikan karena pengaruhnya kepada konsumsi pemerintah," katanya.

Kenaikan BBM pasti akan berdampak pada peningkatan harga barang yang berpotensi melemahkan daya beli masyarakat hingga timbulnya kemiskinan. "Jadi pertumbuhan ekonomi kita 56 persen disumbang konsumsi rumah tangga. Kalau ada inflasi tinggi dan menggerus pengeluaran rumah tangga maka dampak besar ke pertumbuhan ekonomi," kata

Margo juga mengingatkan bahwa peningkatan inflasi yang bisa disebabkan oleh kenaikan harga BBM berdampak pada bertambahnya angka kemiskinan secara nasional. Dia mengatakan, pemerintah di masa lalu sempat menaikkan BBM hingga memicu peningkatan inflasi ke angka 17 persen dan berdampak pada peningkatan angka kemiskinan menjadi 17,7 persen.

Menurutnya, upaya pemerintah saat ini sudah bagus dalam menumbuhkan ekonomi sambil menekan angka kemiskinan di bawah satu persen. Namun, dia meminta agar jangan ada salah kebijakan sehingga pemerintah tidak bisa mengendalikan harga di masing-masing daerah yang bisa berdampak pada peningkatan angka kemiskinan dan memberikan efek sosial secara luas.

"Penting mengendalikan harga energi menjadi catatan penting supaya tidak memberikan impact kepada inflasi," katanya.

Pemerintah kemarin sudah mengumumkan sejumlah bantalan bagi kelompok masyarakat yang paling akan terdampak efek kenaikan harga BBM. Chief Economist Bank Permata, Josua Pardede, mengatakan skema subsidi energi yang tepat sasaran untuk golongan masyarakat tidak mampu mendesak untuk diterapkan. Karena jika tidak, beban subsidi yang ditanggung pemerintah akan terus membengkak dan membebani keuangan negara.

Besarnya konsumsi BBM bersubsidi oleh kalangan mampu disebabkan mekanisme subsidi saat ini bersifat terbuka dan diberikan ke produk energi. "Artinya, siapapun bisa mengakses BBM bersubsidi tersebut jika tanpa pembatasan," ujar dia.

Fakta tidak tepatnya sasaran subsidi energi khususnya BBM disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pekan lalu. Subsidi solar yang beredar di pasar 89 persen dinikmati oleh dunia usaha. Untuk BBM penugasan jenis Pertalite, subsidinya dinikmati oleh 86 persen kalangan mampu.

Akibat subsidi yang tidak tepat sasaran itu, lanjut Josua, kuota BBM bersubsidi terus tersedot dan berimplikasi pada bertambahnya anggaran subsidi dari pemerintah. Kondisi tersebut bertambah parah di tengah kenaikan harga minyak dunia yang masih bertahan di atas 90 dolar AS per barel, jauh di atas asumsi makro pada APBN 2022 sebesar 63 dolar AS per barel.

Melihat kondisi tersebut, Josua menyarankan pemerintah untuk beralih ke penetapan nilai subsidi tetap, sehingga harga pasar dari BBM dapat berfluktuasi menurut pergerakan harga minyak dunia. Dengan jumlah subsidi yang dipatok tetap, maka anggaran subsidi pada APBN tidak berfluktuasi.

Kebijakan ini perlu diperkuat dengan fleksibilitas anggaran untuk perlindungan sosial. Tujuannya untuk meningkatkan anggaran perlindungan sosial sejalan dengan kenaikan harga minyak dunia.

"Dengan kebijakan ini, kami menilai alokasi anggaran akan lebih tepat sasaran ke masyarakat paling rentan yang terdaftar sebagai penerima perlindungan atau bantuan sosial," kata Josua.

Selanjutnya, kata dia, pemerintah perlu terus memperkuat data penerima yang berhak mendapatkan BBM bersubsidi melalui digitalisasi. Ke depan, dengan posisi data penerima yang berhak sudah lengkap, pemerintah dapat secara perlahan menaikkan harga minyak ke harga pasar atau memberikan subsidi namun dengan jumlah yang tetap sehingga kesehatan anggaran dapat terjaga.

Dia menambahkan, usulan mekanisme pembatasan BBM bersubsidi melalui aplikasi MyPertamina cukup baik dan dapat membatasi jumlah pemakaian oleh orang kaya. Melalui digitalisasi, aplikasi MyPertamina dapat membatasi jumlah konsumsi per kendaraan, begitu pula dengan jenis kendaraan yang dapat mengkonsumsi BBM bersubsidi.

"Pertamina perlu meningkatkan koordinasi dengan Korlantas Polri terkait dengan data kendaraan per plat nomor, serta matching data kependudukan dan kemiskinan yang bisa bekerjasama dengan TNP2K ataupun Kemensos dan Kemendagri. Dengan demikian, BBM bersubsidi dapat disalurkan tepat sasaran," kata dia.

Josua berpendapat, jika melihat kondisi psikologis masyarakat saat ini, angka psikologis harga BBM berada di level Rp 10 ribu untuk dapat mengurangi beban subsidi BBM agar nilai subsidi dalam APBN tidak bengkak menjadi Rp 700 triliun, atau tetap Rp 502,6 triliun.

"Dari sisi daya beli, kami menghitung direct impact kenaikan Pertalite 30,72 persen ke inflasi (proporsi Pertalite 80 persen dari total bensin) sebesar 0,93 persen. Untuk indirect impact, kami perkirakan akan sebesar setengah dari direct impact atau sekitar 0,47 persen," ujar Josua.

Josua mengingatkan yang juga penting adalah upaya pengendalian konsumsi BBM bersubsidi bisa dilakukan apabila payung hukum dari pemerintah sudah ada. Sehingga, revisi Perpres terkait pengendalian BBM bersubsidi perlu segera diterbitkan oleh pemerintah mengingat kuota BBM bersubsidi diperkirakan habis pada Oktober atau November 2022.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement