Selasa 23 Aug 2022 13:59 WIB

Pro Kontra Labelisasi BPA untuk Air Minum Kemasan, Ini Saran Pakar Hukum Bisnis

Labelisasi BPA untuk galon isi ulang masih menuai pro dan kontra

Seorang warga membawa air kemasan galon di Rumah Susun Tambora, Jakarta Barat (ilustrasi).
Foto: Antara/M Agung Rajasa
Seorang warga membawa air kemasan galon di Rumah Susun Tambora, Jakarta Barat (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Isu mengenai bahaya BPA dalam kemasan tersebut masih terjadi pro kontra. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) diminta tidak memaksakan regulasi pelabelan 'berpotensi mengandung BPA kepada kemasan pangan berbahan Polikarbonat, apalagi yang dikhususkan untuk air minum dalam kemasan (AMDK).  

“Dari dunia kesehatan sendiri isu ini kan masih pro dan kontra. Jadi, ya jangan dong itu dipaksakan menjadi beban kita para konsumen nantinya. Sebagai pakar hukum bisnis, saya hanya mempertanyakan regulasi pelabelan BPA itu sebenarnya untuk kepentingan siapa? Termasuk Ikatan Dokter Indonesia atau IDI yang memberikan dukungan. Kan masih ada pro kotra juga di kalangan para dokter,” kata  pakar hukum persaingan usaha yang juga Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof Ningrum Natasya Sirait, dalam keterangannnya, Selasa (23/8/2022).  

Baca Juga

Ningrum melihat bahwa regulasi pelabelan BPA ini ada unsur persaingan usahanya. Menurutnya, kalau dari segi persaingan usaha, apapun yang occure cost atau yang menimbulkan biaya, tentu akan menjadi beban suatu industri. 

“Semua peraturan yang menimbulkan dampak pada meningkatnya biaya produksi seperti pelabelan BPA ini, itu pasti berdampak pada konsumen dan itu perlu menjadi pertimbangan,” katanya. 

Dia mempertanyakan juga apakah BPOM sudah mengukur dampak dari regulatory impact assessment dari wacana pelabelan BPA itu. 

“Apa dampaknya ketika dikeluarkannya suatu peraturan yang mewajibkan pelabelan BPA itu. Dan sekarang IDI mulai ribut nggak genah. Ini kan aneh kelihatannya,” ucapnya. 

Dia menuturkan persaingan usaha itu ada yang namanya natural barrier to entry dan artificial barrier to entry. Yang natural, menurut Ningrum, itu harus dipenuhi para pelaku usaha sesuai dengan kebutuhan industri. 

Tapi, lanjutnya, yang artificial ini suka sekali ada regulasi-regulasi yang menjadikan ada beban untuk industri itu masuk ke dalam satu pasar seperti pelabelan BPA ini. 

Menurutnya, kebijakan ini jelas akan menjadi satu level beban yang akan dihadapi pelaku usaha yang memproduksi produk terkait. “Kalau BPOM mengatakan produk itu merusak kesehatan masyarakat, saya mau ada buktinya, benar nggak? Jangan-jangan asal ngomong saja dia itu. Makanya banyak orang yang ribut karena isu ini,” katanya.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement