REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar politik, Saiful Mujani menyatakan peluang partai-partai baru untuk lolos ke Senayan sangat berat, namun bukan berarti tidak mungkin. Menurut dia ada beberapa syarat yang memungkinkan partai baru bisa mendapat dukungan masyarakat luas, sehingga bisa duduk di Senayan.
Hal ini disampaikan Syaiful Mujani pada program Bedah Politik, ”Peluang Partai-partai Baru” yang pada Kamis, (18/8/2022). Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) itu melihat bahwa ada tiga faktor yang bisa mendorong lahirnya partai baru dan mendapatkan dukungan publik.
"Ketiga hal tersebut, yakni momentum, basis sosial, dan tokoh. Ketiga hal ini cenderung tidak dimiliki oleh partai-partai baru," ungkapnya, Kamis (18/8/2022).
Ia memaparkan, salah satu alasan agar suatu partai baru mendapatkan dukungan publik adalah adanya momentum. Menurut Saiful, momentum tidak bisa diciptakan. Dia muncul tiba-tiba dalam sejarah. Pada 1999, misalnya, ada momentum krisis ekonomi dan keruntuhan Orde Baru. Ini momentum politik besar yang tidak bisa diulang dan direkayasa begitu saja.
Tahun 1999 adalah momentum bagi PDI Perjuangan, karena keruntuhan Orde Baru identik dengan represi pada PDI pada periode lalu. Sehingga PDIP mendapatkan suara yang sangat siginifikan (34 persen) dalam sejarah politik Indonesia pada 1999 karena ada momentum. “Partai politik muncul karena ada momentum. Dan momentum ini tidak bisa direkayasa,” kata Saiful.
Faktor kedua adalah basis sosiologis. Saiful menjelaskan ada 42 partai yang berdiri dan mendaftar ke Pemilu. Jumlah ini tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan Pemilu 1999 saat yang lolos verifikasi Komisi Pemilihan Umum dan secara resmi ikut Pemilu ada 48 partai. Dari 48 partai itu, yang mendapatkan suara signifikan, hanya 5 partai politik.
Dari semua partai tersebut, menurut Saiful, umumnya mereka memiliki basis yang sama. Basis sosial dari partai politik yang juga biasa disebut sebagai partai massa antara lain adalah basis sosial keagamaan, misalnya Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, atau gereja. Partai yang didirikan dengan basis sosial organisasi keagamaan biasa disebut sebagai partai sosiologis.
Saiful menyatakan partai yang berasal dari satu organisasi, seperti NU, tidak tunggal. Banyak partai yang lahir dan berafiliasi dengan sentimen ke-NU-an atau pendiri dan tokoh partai-partai tersebut memiliki hubungan khusus dengan NU. Partai yang muncul dari NU bukan hanya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Begitupun dari Muhammadiyah, yang juga menjadi inspirasi sejumlah partai, misalnya Partai Amanat Nasional (PAN). Walaupun secara langsung PAN tidak didirikan oleh Muhammadiyah, tapi tokoh-tokoh yang ada di partai ini berasal dari orang Muhammadiyah seperti Amin Rais.
“Secara sosiologis, jaringan sosial PAN adalah Muhammadiyah,” kata Guru Besar Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, itu.
Lebih jauh Saiful menjelaskan Muhammadiyah secara historis dekat dengan Masyumi. Dari Masyumi muncul sejumlah partai seperti partai seperti ada Partai Bulan Bintang dan Partai Amanat Nasional yang berasal dari rumpun sosiologis yang sama, Masyumi.
Saiful melihat faktor penentu kemenangan satu partai tidak cukup hanya dengan hubungan simbolik dan historis. Jika hanya klaim hubungan simbolik saja misalnya, Partai Masyumi justru kini tidak banyak mendapatkan dukungan publik. Demikian pula dengan PBB yang memiliki lambang yang mirip dengan Masyumi. Kenyataannya tidak. Justru partai yang unggul adalah PAN.
Penggagas PAN sejatinya sadalah tokoh-tokoh yang sangat nasionalis, seperti Goenawan Mohamad. Kenyataannya PAN yang mendapatkan suara yang banyak dari rumpun Masyumi. “Klaim (kedekatan historis) saja tidak cukup, tapi juga harus ada tokoh di situ,” kata Saiful.
Saiful menceritakan pada Pemilu 1999, banyak yang menyangka PAN akan menjadi pemenang Pemilu. Mereka memiliki ekspektasi yang sangat tinggi pada PAN. Kenyataannya hanya mendapatkan suara tujuh persen. Ini di luar dugaan banyak orang.
Perolehan suara PAN yang hanya 7 persen, menurut Saiful, terlalu jauh dari perolehan partai Masyumi pada Pemilu 1955 yang mencapai suara sekitar 20 persen. Ke mana suara Masyumi?
Saiful menyebut dalam satu studi dikatakan tradisi Masyumi terpecah, salah satunya tertampung di Partai Golkar. Golkar adalah pelanjut dari Masyumi. Karena Golkar kuat di Jawa Barat, dan daerah ini adalah salah satunya tertampung di Partai Golkar. Golkar adalah pelanjut dari Masyumi. Karena Golkar kuat di Jawa Barat, dan daerah ini adalah salah satu basis Masyumi.
“Demikian pula dengan Sumatera, Golkar juga kuat di sana, dan itu adalah basis Masyumi. Pada umumnya, di luar Jawa, Masyumi kuat. Dan pada Pemilu 1999, partai yang kuat di luar Jawa adalah Golkar,” jelas penulis buku Muslim Demokrat itu.
Aspek ketiga adalah tokoh. Contoh yang paling baik, menurut Saiful, bagaimana tokoh memiliki peran penting dalam pembentukan partai adalah kelahiran Partai Demokrat. Partai ini tidak memiliki basis pada Ormas. Bahkan, menurut Saiful, pada Demokrat, Ormasnya dibuat justru bersamaan dengan pendirian partai.
Awalnya mereka tidak memiliki Ormas pendukung. Namun begitu dideklarasikan, SBY bisa menarik suara dan Demokrat mendapatkan suara yang cukup signifikan, sekitar 7 persen pada 2004. Lalu setelah SBY menjadi presiden, pada Pemilu 2009, Partai Demokrat mendapatkan suara 21 persen.
Kasus PAN
Saiful menjelaskan bahwa dalam kasus PAN, keluarnya Amin Rais dari partai berlambang matahari itu dan kemudian mendirikan partai baru, Ummat, menarik perhatian. Ini, menurut Saiful, adalah ujian bagi PAN apakah partai politik ini sudah kuat secara lembaga atau masih sangat terikat pada individu. Apakah dengan keluarnya Amin Rais PAN bisa survive atau tidak?
Jika tidak survive, maka salah satu penjelasannya, kata Saiful, adalah pecahnya elit dan ada tokoh sentral yang keluar dari PAN, yakni Amin Rais.
Tapi pada saat yang sama juga perlu dilihat apakah partai yang baru didirikan oleh Amin Rais akan mendapatkan suara secara signifikan atau tidak. Salah satu kemungkinan yang bisa terjadi adalah suara PAN pecah atau terbagi dan kedua partai itu justru tidak lolos.