Kamis 18 Aug 2022 20:29 WIB

Legislator: Kampanye di Kampus Bisa Jadi Pendidikan Politik Bagi Mahasiswa

indikator pemilu yang berkualitas juga ditentukan keberhasilan pendidikan politik

Rep: ronggo astungkoro/ Red: Hiru Muhammad
Anggota Komisi X DPR RI, Zainuddin Maliki, menilai kampanye politik di kampus dapat menjadi sebuah pendidikan politik yang baik bagi para mahasiswa sebagai generasi penerus dan calon pemimpin bangsa.   Ilustrasi Kampanye di Kampus
Foto: mgrol100
Anggota Komisi X DPR RI, Zainuddin Maliki, menilai kampanye politik di kampus dapat menjadi sebuah pendidikan politik yang baik bagi para mahasiswa sebagai generasi penerus dan calon pemimpin bangsa. Ilustrasi Kampanye di Kampus

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi X DPR RI, Zainuddin Maliki, menilai kampanye politik di kampus dapat menjadi sebuah pendidikan politik yang baik bagi para mahasiswa sebagai generasi penerus dan calon pemimpin bangsa. Apalagi, kata dia, indikator pemilu yang berkualitas juga ditentukan  keberhasilan pendidikan politik di masyarakat.

“Saya mendambakan pemilu tahun 2024 nanti menjadi pemilu yang berkualitas. Salah satu indikatornya pemilu 2024 itu berkualitas adalah bisa menjadi pendidikan politik bagi semuanya. Karena itu jika undang-undang, atau aturannya mengizinkan kampanye di dalam kampus, saya melihat hal itu langkah yang sangat baik dalam rangka edukasi,” ujar Zainudin dikutip dari laman resmi Komisi X DPR, Kamis (18/8/2022).

Baca Juga

Lebih lanjut dia menyampaikan, dengan adanya kampanye di dalam kampus, maka akan muncul pikiran-pikiran serta gagasan-gagasan akademis yang didasarkan pada kajian-kajian akademik. Menurut Zainudin, hal tersebut akan memberi sumbangan bagi upaya dalam menjadikan pemilu yang berkualitas, pemilu yang bisa dijadikan pendidikan politik.

Dia menilai, selama ini pemilu melahirkan pembelahan di masyarakat, baik horizontal maupun pembelahan secara vertikal. Dia mengaku tak ingin hal itu terulang kembali. Zainudin ingin satu pemilu yang bisa dijadikan pernikahan politik serta pemilu yang bisa melahirkan pemimpin-pemimpin yang kuat.

\"Pemimpin yang bisa membaca persoalan bangsa kita, kemudian bisa memilih jalan keluar yang benar-benar memang bisa menyelesaikan masalah bangsa ini,\" jelas dia.

Zainudin menyampaikan, jika kemudian saat pelaksanaan kampanye di dalam kampus terjadi ketidaknetralan atau tidak adanya pemilu yang jujur dan adil, hal itu juga merupakan bagian dari politik. Kepada mahasiswa dan para akademisi di dalamnya, diharapkan mereka mampu mencermati secara kritis jika ada kecenderungan indikasi-indikasi berbagai fakta yang bisa menghambat upaya kita membangun demokrasi yang ideal.

“Mahasiswa juga mendapat kesempatan untuk belajar, jadi sarjana yang bisa memberikan solusi bagi permasalahan bangsa ini. Sehingga saya meyakini kampanye politik menjelang pemilu 2024 di dalam kampus itu akan menjadi bagian legacy, apakah dengan cara tersebut akan memberikan sumbangan bagi demokrasi yang kuat, demokrasi yang substansial, dan demokrasi yang ideal,\" kata dia.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi pada Kemendikbudristek Prof Nizam mengatakan, ia belum mendengar langsung dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait kampanye di lingkungan kampus. Berdasarkan aturan pemilu, Nizam menyampaikan, lembaga pendidikan dan tempat ibadah menjadi lokasi yang tidak boleh digunakan untuk kampanye politik."Saya belum pernah dengar dari beliau (Ketua KPU)," ujar Nizam saat dihubungi lewat pesan singkat, Senin (25/7/2022).

Sebelumnya, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy'ari menegaskan bahwa kegiatan kampanye di lingkungan kampus diperbolehkan. Hasyim menjelaskan, Pasal 280 ayat 1 huruf H Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu melarang penggunaan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.

"Pelaksana, peserta dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan. Yang dilarang itu apa, menggunakan fasilitas, bukan kampanyenya. Clear, ya" kata Hasyim di Jakarta, Sabtu, (23/7/2022).

Hasyim menambahkan, penjelasan pasal tersebut menyebutkan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan dapat digunakan untuk kampanye politik jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu. Kampanye juga diperbolehkan atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan. "Jadi kampanye di kampus itu boleh, dengan catatan apa, yang mengundang misalkan rektor, pimpinan lembaga, boleh," ujarnya.

Namun, pihak kampus yang mengundang juga harus memperlakukan hak yang sama ke seluruh peserta pemilu. Mengenai apakah peserta pemilu memenuhi undangan itu atau tidak, hal tersebut diserahkan ke masing-masing peserta pemilu itu sendiri.

"Misalkan, kampus memberikan jadwal silakan tanggal 1 sampai 16, hari pertama partai nomor 1 dan seterusnya sampai 16, mau digunakan atau tidak kan terserah partai. Tapi intinya memberikan kesempatan yang sama," jelasnya.

Begitu juga pengaturan durasi dan frekuensi kampanye juga harus sama. Hasyim menjelaskan, durasi kampanye di kampus dibatasi maksimal hanya dua jam.

"Mau dikurangi satu jam boleh, tapi kalau lebih dari dua jam itu yang nggak boleh. Tapi sekali lagi inisiatifnya dari pemimpin kelembagaan atau pengelola fasilitas pemerintah tersebut," ucapnya.

Hasyim menuturkan, kampanye di lingkungan kampus penting dilakukan mengingat mahasiswa dan dosen memiliki hak suara untuk memilih. Dengan digelarnya kampanye di kampus, para akademisi bisa mengkritik janji kampanye yang dilontarkan para peserta pemilu.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement