REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pangan Nasional (NFA) mencatat sebanyak 74 kabupaten/kota atau 14 persen masuk dalam kategori rentan rawan pangan. Kerentanan itu terjadi lantaran adanya defisit antara produksi pangan dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan NFA, Rachmi Widiriani, mengatakan, data tersebut berdasarkan data Food Security and Vurnerability Atlas (FSVA) 2021. Dimana sebanyak 29 daerah masuk kategori sangat rentan, 17 daerah rentan dan 28 daerah agak rentan.
Berdasarkan peta FSVA, mayoritas wilayah berada di Indonesia Timur yang terbanyak di Pulau Papua. Jumlah daerah yang rentan rawan pangan tahun 2021 meningkat dari tahun 2020 sebanyak 70 kabupaten/kota. Penambahan itu terjadi di saat tren penurunan daerah rentan rawang pangan sejak 2018 lalu.
Namun, Rachmi menuturkan, kenaikan itu tidak terlepas dari dampak pandemi Covid-19 yang membatasi pergerakan. "Akibat kejadian pandemi memang mau tidak mau beberapa wilayah terpengaruh, kesulitan distribusi, dan hal-hal yang membuat keterbatasan manusia dan barang sehingga target penurunan agak sedikit terhambat," katanya dalam webinar CIPS, Kamis (18/8/2022).
Lebih lanjut, Rachmi menjelaskan, penguatan logistik pangan menjadi yang utama saat ini. Pasalnya, sebagian wilayah Indonesia sudah mengalami surplus produksi aneka macam pangan. Namun, di sebagian wilayah lain kebutuhan pangan harus disuplai dari daerah surplus.
Selain itu, masalah utama yang menyebabkan daerah rentan rawan pangan karena presentase penduduk miskin yang relatif tinggi, prevalensi balita stunting yang besar serta akses air bersih yang juga masih terbatas. Masalah-masalah itu utamanya terjadi di Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.
NFA, kata Rachmi tengah menyusun peta FSVA terbaru untuk memetakan lebih detail kondisi kerentanan rawan pangan di Indonesia. Pemerintah menargetkan tahun 2024 mendatang jumlah daerah turun menjadi 12 persen.
"Kenapa kita perlu buat peta ini karena untuk menjadi salah satu pegangan saat menetakan lokus program termasuk merancang anggaran dan kolaborasi dengan kementerian lain," katanya.
Sementara itu, terhadap kebutuhan pangan yang masih dipenuhi impor, ia menegaskan, Indonesia harus mencari substitusi pangan agar dapat mendiversifikasi pangan impor dengan pangan lokal. Langkah itu dapat mengurangi ketergantungan terhadap pasar dunia.
Kepala Peneliti Pertanian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Aditya Alta, mengatakan, pemerintah juga harus mulai mempromosikan pangan sehat dengan gizi seimbang. Namun yang tidak kalah penting, melaukan peninjauan ulang dampak kebijakan selama ini terhadap ketersediaan pangan dan pola konsumsi.
Ia mengatakan, dalam masa pemulihan pasca pandemi saat ini, meningkatkan produksi pangan secara domestik menjadi penting. "Namun, pelaksanaanya harus menghindari lahan secara masif, sebaliknya mendukung inisiatif dan komoditas yang dibudidayakan masyarakat lokal," katanya.