Selasa 16 Aug 2022 00:09 WIB

Angka Kematian Bayi di Indonesia: 24 per 1.000 Kelahiran

Angka kematian ibu tercatat 230 per 100 ribu kelahiran hidup.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Friska Yolandha
Bidan memeriksa kesehatan janin dari seorang ibu hamil di sebuah klinik di Karawang, Jawa Barat, Selasa (19/7/2022). Angka kematian ibu dan bayi yang tinggi masih menjadi ancaman bagi pembangunan sumber daya manusia di Indonesia.
Foto: ANTARA/Andi Bagasela
Bidan memeriksa kesehatan janin dari seorang ibu hamil di sebuah klinik di Karawang, Jawa Barat, Selasa (19/7/2022). Angka kematian ibu dan bayi yang tinggi masih menjadi ancaman bagi pembangunan sumber daya manusia di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Angka kematian ibu dan bayi yang tinggi masih menjadi ancaman bagi pembangunan sumber daya manusia di Indonesia. Kecenderungan yang sama juga terlihat pada jumlah kasus stunting atau gagal tumbuh kembang ideal pada anak.

“Kita semua harus merasa prihatin angka kematian ibu dan bayi masih tinggi. Kita bayangkan sejenak bahwa angka kematian bayi kita masih 24 per 1.000. Artinya setiap 1.000 kelahiran yang mati 24. Kalau ada 100 orang melahirkan yang mati antara 2 dan 3,” kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo, Senin (15/8/2022).

Baca Juga

Hasto menjelaskan, tingkat kematian pada bayi yang tinggi berbanding terbalik dengan jumlah penurunannya. Oleh karena itu Hasto mengingatkan para remaja yang nantinya akan memasuki fase hamil dan melahirkan untuk mengetahui sejak dini bagaimana pencegahan kematian pada bayi yang dikandungnya.

“Kalau saya sebagai dokter kebidanan jaga di kamar bersalin kemudian sudah bisa menolong 29 atau 28 hidup semua, lalu sebentar ada yang mati bayinya. Tentu kesedihan yang luar biasa bagi keluarga yang mendambakan anaknya tapi tidak bisa diselamatkan,” ujar Hasto.

Hasto juga merinci angka kematian ibu yang masih cukup besar jumlah, yakni 230 per 100 ribu kelahiran hidup. Hasto pun memasang target angka kelahiran hidup di tahun 2030 mencapi 70 per 100 ribu.

Berdasarkan data Sampling Registration System (SRS) tahun 2018, sekitar 76 persen kematian ibu terjadi di fase persalinan dan pasca persalinan dengan proporsi 24 persen terjadi saat hamil, 36 persen saat persalinan dan 40 persen pasca persalinan. Yang mana lebih dari 62 persen kematian ibu dan bayi terjadi di rumah sakit. Artinya akses masyarakat mencapai fasilitas pelayanan kesehatan rujukan sudah cukup baik.

Tingginya kematian ini disebabkan oleh berbagai faktor risiko yang terjadi mulai dari fase sebelum hamil yaitu kondisi wanita usia subur yang anemia, kurang energi kalori, obesitas, mempunyai penyakit penyerta seperti tuberculosis dan lain-lain. Pada saat hamil ibu juga mengalami berbagai penyulit seperti hipertensi, perdarahan, anemia, diabetes, infeksi, penyakit jantung dan lain-lain.

“Tapi kita harus tertantang juga karena negara tetangga kita Singapura itu sudah 7 per 100 ribu jiwa. Kita juga harus betul-betul punya rasa keprihatinan. Bisa dibayangkan ribuan, bisa 2.000-3.000 ibu melahirkan mati setiap tahunnya di Indonesia. Kematian ibu dan bayi sebagian besar adalah preventable atau kematian-kematian yang bisa dicegah,” tuturnya.

Tidak hanya pada kematian ibu dan bayi, Hasto juga mengingatkan terkait masalah stunting yang juga berpengaruh terhadap pembangunan SDM Indonesia yang unggul.

Hasto menyebut, kualitas generasi stunting tidak akan bisa bersaing dalam hal apapun karena memiliki banyak keterbatasan, yakni tidak cerdas, tidak tinggi, dan tidak sehat.

Oleh karena itu BKKBN dengan era baru, cara baru, dan generasi baru, menurut dr. Hasto, terus melakukan sosialisasi demi menciptakan generasi emas bersama para remaja yang saat ini jumlahnya menjadi 64 juta jiwa.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement