REPUBLIKA.CO.ID, oleh Intan Pratiwi, Febryan A, Eva Rianti, Bayu Adji P
Pemerintah memiliki rencana menaikkan harga jual Pertalite menjadi Rp 10.000 per liter. Pemerintah berdalih kenaikan harga minyak dunia dan kondisi APBN yang tak lagi mampu menanggung subsidi.
Kebijakan kenaikan harga Pertalite diyakini akan sangat berdampak pada inflasi. Direktur Eksekutif CORE Indonesia Muhammad Faisal menilai kenaikan lebih dari Rp 2.000 per liter akan langsung berpengaruh pada inflasi dan juga menggerus daya beli masyarakat.
"Dampaknya ke inflasi akan sangat signifikan. Jika pemerintah mentargetkan inflasi di angka 4-5 persen, dengan kenaikan Pertalite inflasi bisa menembus 6-7 persen," ujar Faisal kepada Republika, Senin (15/8/2022).
Faisal juga menilai seharusnya kebijakan menaikan harga Pertalite ini tak diambil pemerintah. Sebab, menurut Faisal, APBN masih sangat cukup menambal subsidi, meskipun ada proyeksi kenaikan besaran subsidi.
Faisal mencatat APBN semester satu tahun ini surplus Rp 73 triliun. Lebih baik dibandingkan kondisi tahun lalu yang defisit Rp 270 triliun. Tahun ini, target defisit APBN sebesar 4,85 persen. Namun dengan kondisi kenaikan harga komoditas yang menambah windfall profit defisit APBN diturunkan jadi 3,9 persen.
"Sebetulnya ruang APBN utk menambah subsidi masih ada. Kalau kemudian ada opsi menambah kuota subsidi, maka beban belanja subsidi akan bertambah, BBM khususnya. Tapi ini tidak lantas membuat APBN defisitnya melewati target," ujar Faisal.
Kalaupun masyarakat harus menelan pil pahit kenaikan harga Pertalite, maka menurut Faisal mestinya ini tidak dipukul rata. Menurut dia, pemerintah tetap harus memilih kelompok rentan untuk dilindungi. "Kalaupun naik semestinya jangan pukul rata, setidaknya dibedakan untuk sepedah motor, angkutan umum maupun angkutan barang," ujar Faisal.
Jika tidak adanya jaring pelindung ini, maka menurut Faisal daya beli masyarakat akan sangat terpengaruh. Dampaknya, akan memperburuk pertumbuhan ekonomi. Sebab, dengan kenaikan harga BBM, maka akan berdampak langsung pada inflasi.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengaku opsi menaikan harga jual Pertalite memang masuk menjadi kajian pemerintah. "(Penyesuaian harga pertalite) termasuk dalam bahan kajian kita," ujar Arifin di Kementerian ESDM, Senin (15/8/2022).
Namun ia tak berani menegaskan apa saja opsi yang saat ini sedang dihitung oleh pemerintah terkait Pertalite. Kata dia, saat ini pemerintah sedang mengevaluasi semua opsi dan akan memutuskan yang terbaik.
"Ini sedang kami hitung semua. Kami evaluasi. Nanti kita lihat mana yang terbaik," ujar Arifin.
Arifin juga mengatakan saat ini pihaknya paralel menyelesaikan Revisi Perpres 191 Tahun 2014 tentang kriteria penerima subsidi. Kata dia, beleid ini akan rampung pada bulan Agustus ini. "Mudah mudahan bulan ini selesai, setelah 17-an lah," kata dia.
Payung hukum ini menjadi penting agar pemerintah dan Pertamina sebagai operator bisa menyalurkan barang subsidi secara tepat sasaran. Sehingga, upaya penghematan APBN bisa dilakukan tanpa harus membebani masyarakat.
Sebelumnya, pemerintah telah berulang kali melontarkan wacana untuk menaikkan harga BBM. Presiden Joko Widodo (Jokowi), misalnya, telah berulang-ulang menyebut besarnya beban APBN untuk subsidi BBM. Sebab, anggaran subsidi terus bertambah seiring naiknya harga minyak mentah dunia.
"Kita harus mensubsidi ke sana (harga BBM), dari Rp 152 triliun melompat kepada Rp 502 triliun. Ini besar sekali," ujar Jokowi di Samarinda pada akhir Juli lalu.
Pekan lalu, giliran Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia yang menyinggung soal wacana kenaikan harga BBM. Dia meminta masyarakat bersiap-siap jika nanti pemerintah memutuskan harga BBM naik.
Menurut dia, jika harga BBM tidak naik, maka dampaknya adalah kondisi fiskal negara yang tidak sehat. Sebab, seperempat pendapatan negara (Rp 500 triliun) harus digunakan untuk subsidi BBM.
Bahlil menjelaskan, ongkos untuk subsidi BBM melonjak karena harga minyak dunia sudah meroket akibat ketidakpastian global. Ia mencatat, harga minyak dunia rata-rata mencapai 105 dolar AS per barel dari periode Januari-Juli 2022. Padahal, asumsi harga minyak di dalam APBN hanya di kisaran 63-70 dolar AS per barel.