REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Direktur Imparsial, Gufron Mabruri, khawatir usulan Menteri Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan akan menghidupkan lagi dwi fungsi ABRI. Praktik ini akan berbahaya bagi demokrasi yang sudah berjalan.
Menurut Gufron, dalam Silaturahmi Nasional Persatuan Purnawirawan TNI AD pada Jumat (5/8/2022) mengusulkan, dalam revisi UU TNI yang akan dibahas di DPR agar mengatur TNI aktif dapat menduduki jabatan sipil atas permintaan dari institusi atas persetujuan Presiden.
"Kami memandang bahwa usulan LuhutBinsar Panjaitan tersebut jika benar diakomodir dalam revisi UU TNI jelas akan mengancam demokrasi karena melegalisasi kembalinya praktik Dwi fungsi ABRI seperti pada masa otoritarian Orde Baru,” kata Gufron, dalam siaran pers, Rabu (10/8/2022).
Penting untuk dicatat, kata Gufron, kehidupan demokrasi yang dicapai dan dinikmati hari ini adalah buah dari perjuangan politik berbagai kelompok pro demokrasi pada Kalangan elit politik, terutama yang tengah menduduki jabatan strategis di pemerintahan, semestinya menjaga dan memajukan sistem dan dinamika politik demokrasi hari ini. “Bukan sebaliknya malah mengabaikan sejarah dan pelan pelan ingin mengembalikan model politik otoritarian Orde Baru,” ungkap Gufron.
Penghapusan Dwi fungsi ABRI merupakan bagian dari agenda demokratisasi 1998. Penghapusan tersebut tidak hanya sebagai bentuk koreksi terhadap penyimpangan fungsi dan peran ABRI yang lebih sebagai alat kekuasaan di masa otoritarian, tapi juga untuk mendorong terwujudnya TNI yang profesional, dan secara lebih luas lagi merupakan bagian dari agenda pembangunan demokrasi di Indonesia.
Salah satu praktik Dwi fungsi ABRI yang dihapuskan adalah penempatan anggota TNI aktif pada jabatan-jabatan sipil, baik di kementerian, lembaga negara maupun pemerintah daerah (Gubernur, Bupati, Walikota).
Kendati demikian, terdapat pengecualian yakni militer aktif hanya dapat menduduki jabatan-jabatan yang memiliki keterkaitan dengan fungsi pertahanan seperti Kementerian Pertahanan, Kemenkopolhukam, Sekmil Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lemhanas, Dewan Pertahanan Nasional, Narkotika Nasional dan Mahkamah Agung (Pasal 47 ayat 2 UU TNI).
"Kami menilai bahwa dalam upaya menjaga dan mendorong pemajuan sistem dan praktik demokrasi di Indonesia, peran sosial-politik ABRI/TNI yang telah dihapuskan pada tahun-tahun transisi politik 1998 menjadi penting untuk dijaga dan dipertahankan,” kata aktivis HAM ini.
Gufron meminta, elit politik untuk tidak membuka ruang dihidupkannya kembali praktik politik era otoritarian tersebut. Sekali ruang tersebut dibuka dan apalagi dilegalisasi melalui UU maka sama saja membalikan kembali peran TNI seperti di masa otoritarianisme Orde Baru.
Gufron menilai wacana perwira militer aktif dapat menduduki jabatan-jabatan sipil di kementerian dan lembaga yang didorong oleh Luhut Binsar Panjaitan, diragukan hal tersebut bertujuan untuk pembangunan dan penataan TNI. Jika usulan tersebut diakomodir dalam revisi UU TNI, tidak hanya akan merusak dinamika internal TNI, tapi juga kehidupan politik demokrasi.