REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Filantropi Indonesia menilai, kasus yang menimpa lembaga Aksi Cepat Tanggap (ACT) menunjukkan adanya kelemahan regulasi terkait pengumpulan uang dan barang yang ada saat ini. Karenanya dibutuhkan aturan baru yang lebih detail mengatur ihwal donasi, salah satunya adalah rancangan undang-undang (RUU) Penyelenggaraan Sumbangan.
"Sekarang ini kita sedang mengupayakan RUU Penyelenggaraan Sumbangan. Ada dua koalisi yang sedang mencermati ini, teman-teman di koalisi masyarakat sipil untuk hal akuntabilitas sumbangan," ujar Badan Pengurus Filantropi Indonesia, Hamid Abidin dalam sebuah diskusi daring, Kamis (4/8).
Saat ini, terdapat empat regulasi inti yang mengatur ihwal sumbangan dan lembaga filantropi. Keempatnya adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang dan Barang (PUB), Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 38 Tahun 2009 tentang Penerimaan dan Pemberian Bantuan Ormas dari dan kepada Pihak Asing, dan Peraturan Menteri Sosial (Permensos) Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengumpulan Uang dan Barang.
Selain itu terdapat sejumlah regulasi penunjang, seperti Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Serta, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Publik.
"Undang-Undangnya (PUB) sebenarnya sudah dianggap terlalu usang, sehingga sudah saatnya direvisi atau diganti," ujar Hamid.
Adapun dalam RUU Penyelenggaraan Sumbangan, terdapat 15 poin isu utama yang akan diatur di dalamnya. Mereka adalah tujuan pengaturan, mekanisme pengaturan, cakupan pengaturan sumbangan, penyelenggaraan sumbangan publik, periodisasi perjanjian/pendaftaran, pengaturan ruang lingkup penyelenggaraan sumbangan, dan sentralisasi perizinan.
Selanjutnya adalah dana operasional, posisi organ pendukung, mekanisme pelaporan/pertanggungjawaban, dan periode pelaporan/pertanggungjawaban. Serta, perlindungan dan penghargaan terhadap hak-hak donatur, bentuk dan format pelaporan, posisi dan peran internal regulasi, dan insentif.
Harapannya dengan adanya UU Penyelenggaraan Sumbangan, adanya pengaturan yang lebih detail kepada kegiatan filantropi yang saat ini sedang berkembang pesat. Juga menjadi alat yang mendukung dan memfasilitasi kegiatan filantropi sebagai hak dan partisipasi.
"(RUU Penyelenggaraan Sumbangan) Mendorong akuntabilitas sumbangan melalui pengawasan dan penindakan yang efektif. Lebih ditekankan kepada kemudahan dan fasilitasi dalam pendaftaran atau perjanjian yang diikuti dengan pengawasan dan penindakan secara efektif," ujar Hamid.
Ia menjelaskan, pihaknya sudah mengusulkan RUU Penyelenggaraan Sumbangan kepada DPR pada 2018. RUU tersebut sempat masuk program legislasi nasional (Prolegnas) 2019, tetapi tidak berhasil masuk Prolegnas Prioritas.
"Kita punya tantangan, celakanya RUU (Penyelenggaraan) Sumbangan ini masuk dalam kategori RUU air mata. RUU yang dalam kategori bisa mendatangkan atau didukung dengan sumber daya yang besar atau punya kepentingan yang signifikan untuk para anggota DPR," ujar Hamid.