REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan aliran dana masuk ke lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT) sebesar Rp 1,7 triliun. Setengah dari dana itu ternyata digunakan pengurus ACT untuk berbagai keperluan pribadi.
"Jadi kita melihat ada kepentingan untuk buat pembayaran kesehatan, pembelian vila, pembelian rumah, pembelian aset, dan segala macam yang memang tidak diperuntukkan untuk kepentingan sosial," kata Kepala PPATK Ivan Yustiavandana di kantor Kemensos, Jakarta Pusat, Kamis (4/8/2022).
Ivan menjelaskan, dana itu bisa digunakan para pengurus ACT setelah dialirkan berulang kali. Pertama, setengah dari dana Rp 1,7 triliun itu dialirkan ke usaha-usaha lain yang dimiliki oleh ACT, yang terafiliasi dengan pengurus ACT.
Setelah itu, dana tersebut dialirkan kembali ke pengurus ACT. Selanjutnya, barulah pengurus ACT menggunakan dana pengembalian tersebut untuk keperluan pribadi.
Terkait temuan ini, Ivan tak menyebutkan secara pasti apakah aliran dana masuk Rp 1,7 triliun itu merupakan donasi publik atau bukan. Dia juga tak merinci rentang waktu dana itu masuk ke ACT.
Selain menemukan aliran dana masuk, PPATK juga telah memblokir 843 rekening milik ACT. Dalam ratusan rekening tersebut, terdapat dana Rp 11 miliar.
Sebelumnya, Kemensos mencabut izin lembaga ACT karena kedapatan menggunakan 13,7 persen dana donasi untuk kebutuhan operasional. Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan hanya memperbolehkan penggunaan dana donasi untuk operasional paling banyak 10 persen.
Di sisi lain, Polri juga tengah menyidik kasus dugaan penyelewengan dana di ACT. Sejauh ini, empat pimpinan lembaga itu sudah dijadikan tersangka. Polisi menyatakan, empat tersangka menggunakan dana sumbangan masyarakat untuk gaji mereka yang besar dan untuk sejumlah perusahaan milik para petinggi ACT.