Kamis 04 Aug 2022 11:09 WIB

Sebut tak Perlu Diwajibkan, Ade Armando: Banyak Siswi dan PNS Tertekan Dipaksa Jilbab

Saat ini aturan berjilbab ada di setidaknya 24 Provinsi di Indonesia.

Rep: Amri Amrullah / Red: Agus Yulianto
Ade Armando
Foto: Republika/Wihdan
Ade Armando

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pergerakan Indonesia untuk Semua (PIS) Ade Armando, meminta Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi; Menteri Dalam Negeri, Pemerintah Daerah, dan Dinas Pendidikan membatalkan aturan mewajibkan penggunaan jilbab bagi sekolah negeri di Indonesia. Hal ini sebagai upaya memastikan perlindungan bagi seluruh siswi di sekolah negeri dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) agar tidak dipaksa memakai jilbab dengan alasan apapun.

Dia mengutip laporan Human Rights Watch Indonesia 2022 yang menunjukkan, saat ini aturan berjilbab ada di setidaknya 24 Provinsi di Indonesia. Kewajiban ini diberlakukan di sekolah negeri, sejak SD sampai SMA, serta juga di lembaga-lembaga pemerintahan.

“Laporan tersebut menunjukkan bahwa tidak sedikit warga yang merasa tertekan, terteror, dan trauma karena dipaksa memakai jilbab,” kata Ade kepada wartawan di Jakarta, Kamis (4/8/2022).

Menurut dia, banyak juga temuan sebagian siswi yang tidak mau berjilbab dipaksa mengundurkan diri dari sekolah. Sementara sejumlah PNS perempuan, termasuk guru, dokter, kepala sekolah dan dosen kehilangan pekerjaan mereka atau terpaksa mengundurkan diri.

“PIS percaya setiap siswi berhak memakai seragam sekolah yang dikehendakinya selama tetap menjaga kesopanan dan sesuai dengan aturan yang berlaku. PIS juga percaya tidak boleh ada pemaksaan jilbab bagi para PNS,” ujar dia.

Ade memandang, apabila pemaksaan pemakaian jilbab menjadi beban bagi pengguna, maka yang terjadi adalah pelanggaran hak asasi manusia. Karena itu, PIS mendesak Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi; Menteri Dalam Negeri; dan Menteri Agama bersama-sama melahirkan keputusan baru pengganti Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang pernah diterbitkan pada Februari 2021.

SKB yang ditujukan untuk melindungi siswi di sekolah negeri dari pemaksaan pemakaian jilbab itu memang ditolak Mahkamah Agung pada Mei 2021. Namun, dengan semakin banyaknya korban pemaksaan jilbab berjatuhan, sudah saatnya pemerintah melakukan langkah-langkah lanjutan untuk melindungi siswi di sekolah negeri.

Demikian pula, PIS mendesak Kementerian Dalam Negeri membatalkan berbagai keputusan daerah yang memuat pemaksaan berjilbab. Kementerian Dalam Negeri berhak membatalkan keputusan daerah yang bertentangan dengan undang-undang nasional dan konstitusi.

“Berjilbab atau tidak berjilbab adalah pilihan yang harus dihormati dan dilindungi,” tegas Ade.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement