Selasa 26 Jul 2022 18:23 WIB

Hakim MK Soroti Perbedaan Materi Gugatan, PKS: Bumi tak Runtuh tanpa PT 20 Persen

PT 20 persen dinilai inkostitusional karena melanggar moralitas dan rasionalitas.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Ilham Tirta
Hakim Konstitusi Arief Hidayat (tengah) bersama Enny Nurbaningsih (kiri) dan Saldi Isra (kanan) memimpin sidang perdana permohonan judicial review presidential threshold di Jakarta, Selasa (26/7/2022). Sidang perdana atas permohonan yang diajukan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu beragenda pemeriksaan pendahuluan atas permohonan uji materi.
Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Hakim Konstitusi Arief Hidayat (tengah) bersama Enny Nurbaningsih (kiri) dan Saldi Isra (kanan) memimpin sidang perdana permohonan judicial review presidential threshold di Jakarta, Selasa (26/7/2022). Sidang perdana atas permohonan yang diajukan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu beragenda pemeriksaan pendahuluan atas permohonan uji materi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Saldi Isra, memberikan sejumlah masukan terhadap uji materi Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) 20 persen kursi DPR dalam sidang perdana hari ini, Selasa (26/7/2022). Uji materi itu diajukan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Saldi menyoroti perbedaan gugatan yang diajukan PKS dengan gugatan serupa yang pernah diajukan pihak lain sebelumnya. "Ini yang agak miss di permohonan ini, ini pasal ini kan sudah berkali-kali diajukan, diuji ke MK, belum ada penjelasan kepada kami di permohonan ini kira-kira masih bisa nggak diajukan permohonan," kata Saldi dalam sidang yang ditayangkan secara daring, Selasa (26/7/2022).

Baca Juga

Saldi mengatakan, ada dua syarat yang harus dijelaskan pemohon. Pertama, ada tidaknya dasar pengujian yang berbeda dengan pengujian sebelumnya. Menurut hakim MK, hal itu harus ditunjukan oleh pemohon.

"Apa yang membedakan permohonan ini dari segi dasar pengujian dibandingkan permohonan-permohonan sebelumnya yang pernah diajukan ke MK," ujarnya.

Jika dasar pengujiannya sama seperti yang pernah diajukan sebelumnya, Saldi mengatakan, alasan pengujiannya juga bisa digunakan dengan alasan pengujian yang berbeda dibandingkan permohonan-permohonan sebelumnya. "Tolong ini ditambahkan sehingga kami di mahkamah bisa melihat ternyata ini dasar pengujiannya berbeda," katanya.

Jika itu tidak ada, maka sidang bisa terhenti dengan istilah nebis in idem. "Harus ada justifikasi dari pemohon bahwa ini bukan nebis in idem dalam pengertian umum yang kita kenal selama ini. Itu yang perlu ditambahkan," kata dia.

Selain itu, Saldi juga mempertanyakan dasar pengajuan angka presidential threshold 7-9 persen yang disampaikan PKS dalam pokok permohonannya. Saldi menuturkan, perlu ada penjelasan secara teoritis dan konstitusional terkait usulan angka PT 7-9 tersebut.

"Kami belum melihat dari mana rujukannnya, sebaiknya rujukan teoritis yang digunakan itu dilampirkan sebagai bukti, dan argumen konstitusional yang bisa memperkuat bahwa angka 7-9 persen angka yang konstitusional, kalau tidak nanti bisa saja orang mengatakan ini ilmu cocokologi ini, dicocok-cocokan dengan presentasenya PKS," katanya.

 

Kuasa Hukum PKS, Zainudin Paru menjelaskan, yang membedakan gugatan yang diajukan PKS dengan pemohon sebelumnya. Zainudin mengatakan, PKS adalah salah satu partai yang menyatakan tidak setuju UU Nomor 7 Tahun 2017 disahkan, selain PAN, Gerindra, dan Partai Demokrat.

Selain itu, PKS juga melihat Presidential Threshold sebagai sesuatu yang konstitusional. Namun menjadi inkostitusional karena melanggar moralitas dan rasionalitas. "Kami melihat bahwa ada persoalan moralitas, bagaimana mungkin pemerintah negara yang eksis saat ini telah dibatasi dua periode ingin maju jadi tiga periode, itu bagian dari moralitas," jelasnya.

"Kemudian, ada rasionalitas, apakah iya kemudian kita tidak bisa mengubah 20 persen presidential threshold, apakah bumi ini menjadi runtuh kalau kemudian tidak bisa 20 persen?" katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement