REPUBLIKA.CO.ID,SURABAYA -- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) baru-baru ini mengusulkan adanya cuti bagi suami untuk menemani istrinya melahirkan yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA). Pakar Konseling dan Psikologi Keluarga Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (Unair), Nurul Hartini menyebut usulan tersebut merupakan usulan yang bagus.
“Jika kita meninjau dari sudut pandang psikologi keluarga, maka RUU tersebut sangat berpihak pada kesejahteraan ibu dan anak. Jika meninjau dari sisi manfaat secara psikologis sebenarnya setiap keluarga membutuhkan kebijakan seperti pada RUU KIA itu,” ujar Prof Nurul di Surabaya, Jumat (22/7/2022).
Meskipun bermanfaat bagi kesejahteraan keluarga, Nurul mengingatkan bahwa tetap perlu beberapa pertimbangan sebelum mengesahkan kebijakan tersebut. Nurul mengatakan, tidak semua jenis pekerjaan perlu memberikan cuti khusus dalam hal ini.
“Melihat juga dari karakteristik masing-masing pekerjaan. Mungkin para suami yang bekerja jauh dari keluarga, akan sangat sesuai jika diberikan cuti khusus tersebut. Karena mereka menjalani long distance marriage yang tidak bisa bertemu istrinya setiap hari,” ujarnya.
Namun, lanjut Nurul, berbeda dengan para suami yang bekerja dekat dengan keluarganya. Dimana suami dapat bertemu dengan istrinya setiap hari. Maka suami tetap dapat memberikan dukungan dan memperhatikan istrinya setiap hari pada waktu-waktu senggang dari pekerjaan mereka.
Nurul mengingatkan, adanya kebijakan cuti bagi suami ini juga jangan sampai berpengaruh pada pendapatan mereka. Nurul mengharapkan tidak ada sistem “potong gaji” sehubungan dengan masa cuti tersebut. Khawatirnya, kata dia, cuti suami dapat menyejahterakan dari sisi psikologis keluarga namun menimbulkan kerugian ekonomi.
“Jangan sampai memunculkan ketidaksejahteraan di faktor yang berbeda, ekonomi misalnya. Justru hal itu yang turut berdampak pada kesejahteraan ibu dan anak. Jadi memang perlu banyak peninjauan terlebih dahulu, agar kebijakan terebut tepat dan sesuai tujuan yakni benar-benar menyejahterakan keluarga,” kata Nurul.
Nurul menyarankan, kebijakan tersebut juga perlu didukung adanya batasan-batasan. Dengan kata lain, perlu ada turunan-turunan peraturan yang memberi batas untuk pemberian cuti suami. Suami harus memanfaatkan cuti tersebut dengan baik untuk menemani istrinya sehingga benar-benar memperoleh kesejahteraan.
“Terkait dengan durasinya, bergantung kepada kebijakan setiap perusahaan masing-masing yang tidak merugikan kedua pihak,” ujar Nurul.