Sabtu 23 Jul 2022 06:11 WIB

Great Teacher Onizuka, Pendidikan Humanis dan Kurikulum Merdeka

Dari Great Teacher Onizuka belajar tentang pendidikan humanis dan kurikulum merdeka.

Pendidikan nasional (ilustrasi). Kemendikbudristek mulai menerapkan Kurikulum Merdeka Belajar pada tahun ajaran baru ini.

Kurikulum Merdeka

Sejak Maret 2020 hingga saat ini, sekitar dua tahun, pembelajaran di sekolah dihentikan dan digantikan dengan pembelajaran daring atau pembelajaran jarak jauh (PJJ). Banyak anak-anak di generasi tersebut dinilai telah mengalami ketertinggalan pembelajaran atau learning loss. Sehingga mereka kesulitan untuk mencapai kompetensi dasar sebagai peserta didik.

Untuk mengatasi krisis pembelajaran, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim meluncurkan Merdeka Belajar Episode Kelima belas yaitu Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Mengajar pada februari 2022 lalu. Saat itu, Nadiem menilai perlu ada solusi untuk mengatasi krisis pembelajaran tersebut dan diyakini hal itu dalam bentuk Kurikulum Merdeka Belajar.

Nadiem juga memaparkan sejumlah keunggulan Kurikulum Merdeka. Pertama, lebih sederhana dan mendalam karena kurikulum ini akan fokus pada materi yang esensial dan pengembangan kompetensi peserta didik pada fasenya. Kemudian, tenaga pendidik dan peserta didik akan lebih merdeka karena bagi peserta didik, tidak ada program peminatan di SMA, peserta didik memilih mata pelajaran sesuai dengan minat, bakat, dan aspirasinya.

Sedangkan bagi guru, mereka akan mengajar sesuai tahapan capaian dan perkembangan peserta didik. Lalu sekolah memiliki wewenang untuk mengembangkan dan mengelola kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan karakteristik satuan pendidikan dan peserta didik.

Keunggulan lain dari penerapan Kurikulum Merdeka ini adalah lebih relevan dan interaktif di mana pembelajaran melalui kegiatan proyek akan memberikan kesempatan lebih luas kepada peserta didik untuk secara aktif mengeksplorasi isu-isu aktual, misalnya isu lingkungan, kesehatan, dan lainnya untuk mendukung pengembangan karakter dan kompetensi Profil Pelajar Pancasila. 

Satuan pendidikan dapat memilih tiga opsi dalam mengimplementasikan Kurikulum Merdeka pada Tahun Ajaran 2022/2023. Pertama, menerapkan beberapa bagian dan prinsip Kurikulum Merdeka tanpa mengganti kurikulum satuan pendidikan yang sedang diterapkan. Kedua, menerapkan Kurikulum Merdeka menggunakan perangkat ajar yang sudah disediakan. Ketiga, menerapkan Kurikulum Merdeka dengan mengembangkan sendiri berbagai perangkat ajar. Nadiem memastikan dengan Merdeka Belajar, tidak akan ada pemaksaan penerapan (Kurikulum Merdeka) ini selama dua tahun ke depan.

Kurikulum Merdeka yang diklaim mampu mendukung pemulihan pembelajaran akibat pandemi Covid-19 yang memunculkan learning loss ini, nantinya akan memiliki beberapa karakteristik. Pertama, pembelajaran berbasis projek (project based learning) untuk pengembangan soft skills dan karakter sesuai profil pelajar Pancasila. Kedua, fokus pembelajaran pada materi esensial akan membuat pembelajaran lebih mendalam bagi kompetensi dasar seperti literasi dan numerasi. Ketiga, guru memiliki fleksibilitas untuk melakukan pembelajaran berdiferensiasi sesuai kemampuan siswa dan melakukan penyesuaian dengan konteks dan muatan lokal.

Secara idealnya, kita akan membayangkan Kurikulum Merdeka Belajar ini akan seperti pendidikan humanis seperti teorinya Abraham Maslow. Dengan Kurikulum Merdeka Belajar, pembelajaran akan berpusat untuk siswa, untuk kebutuhan siswa, untuk pemenuhan fasilitas, untuk menunjang siswa serta untuk menyalurkan minat dan bakat siswa.

Sekolah pun akan terbayangkan menjadi lebih ramah kepada siswa. Siswa diberikan porsi yang lebih banyak untuk menyuarakan pendapatnya dalam pengembangan sekolah. Siswa merdeka belajar yang diinginkan tanpa harus merasa ‘terintimidasi’ dengan pelajaran-pelajaran yang tidak disukai dan bahkan harus diujiankan dengan minimum nilai kelulusan.

Dan mungkin yang lebih revolusioner lagi, siswa dapat ikut serta dalam tiap kebijakan sekolah. Siswa bisa menentukan jam masuk dan pulang sekolah. Siswa, mungkin melalui OSIS, bisa ikut serta dalam rapat persetujuan anggaran sekolah. Siswa pun bisa ikut menentukan dan mengadakan pemilihan kepala sekolah secara demokratis. Jika semua itu diterapkan, saya tidak bisa membayangkan, bagaimana humanisnya sistem pendidikan kita nantinya.

Akan tetapi, saat ini, saya sebagai guru secara umum, pun masih merasa meraba-raba terkait teknis pelaksanaan dari Kurikulum Merdeka Belajar ini. Bagaimana nanti penerapan pelaksanaan di sekolah dengan fokus terhadap pengembangan minat dan bakat siswa.

Jika Nadiem memastikan tidak akan terjadi guru yang mengalami kekurangan jam mengajar, bagaimana memastikannya? Misalnya untuk mata pelajaran sejarah, saya akui, pelajaran ini bukan merupakan favorit untuk siswa-siswa pelajari. Mengingat begitu banyak materi yang diajarkan di mata pelajaran tersebut dan selama ini guru sejarah pun cenderung ‘memaksa’ siswa untuk menghapal seluruh materi agar memperoleh nilai sesuai kriteria ketuntasan minimal (KKM).

Pertanyaannya lagi, sejauh apa sekolah mampu memfasilitasi bakat dan minat siswa? Mungkin sekolah yang memiliki fasilitas yang lengkap tidak akan banyak mengalami kesulitan. Bagaimana dengan sekolah kecil yang hanya menggantungkan seluruh operasional sekolah dari iuran siswa? Bagaimana mereka bisa memfasilitasi minat dan bakat siswa, jika sekolah terbelit masalah jumlah guru, bagaimana membayar gaji guru, bagaimana bangku dan meja di kelas tetap nyaman untuk siswa belajar. Hal ini tidak hanya terjadi di sekolah di daerah-daerah pedalaman saja, namun sekolah-sekolah swasta di kota-kota besar yang hidupnya kembang kempis masih banyak terjadi.

Belum lagi, masalah kesiapan guru dan sekolah dalam mengimplementasikan Kurikulum Merdeka Belajar. Selama ini, guru tidak pernah memiliki pengalaman dalam pembelajaran merdeka, referensi terkait pembelajaran merdeka juga terbatas,serta perlu waktu untuk guru menerapkan kurikulum ini. Belum lagi, project based learning masih dianggap sebagai ‘barang langka’ bagi guru-guru saat ini.

Dengan waktu tersisa kurang dari satu bulan untuk tahun ajaran baru dan menerapkan kurikulum baru ini akan sulit. Memang Kemendikbud memberikan toleransi selama dua tahun dalam beradaptasi untuk menerapkan Kurikulum Merdeka Belajar, mungkin hal ini perlu diimbangi dengan berbagai pelatihan untuk guru-guru, terutama di daerah-daerah, agar mudah dan merasa nyaman dalam penerapannya.

Yang pasti, dengan adanya Kurikulum Merdeka Belajar, saya melihat ada peluang sangat besar untuk memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan yang mengutamakan proses belajar, bukan hasil. Sistem pendidikan yang memprioritaskan kebutuhan siswa, bukan menuntut siswa untuk berkompetisi atas nama sekolah. Sistem pendidikan yang memerdekakan, bukan justru malah membelenggu.

Seperti yang Onizuka katakan, “Sekolah harus menjadi tempat yang aman untuk anak-anak”.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement