Sabtu 23 Jul 2022 06:11 WIB

Great Teacher Onizuka, Pendidikan Humanis dan Kurikulum Merdeka

Dari Great Teacher Onizuka belajar tentang pendidikan humanis dan kurikulum merdeka.

Pendidikan nasional (ilustrasi). Kemendikbudristek mulai menerapkan Kurikulum Merdeka Belajar pada tahun ajaran baru ini.

Pendidikan Humanis

Di satu waktu, satu orang rekan sesama guru pernah menanyakan kepada Onizuka, “Apakah pak Onizuka tidak terlalu terbuka menunjukkan masalah-masalah pribadi kepada siswa-siswa?”. Dan dengan ringannya, Onizuka menjawab, “Sesekali siswa mengetahui kalau gurunya memiliki masalah sama seperti mereka, tidak ada salahnya. Guru bukan hanya mengajarkan pelajaran saja. Tapi guru juga bisa menjadi sahabat dimana membuat nyaman siswanya”.

Di balik sisi kontroversi dari serial kartun atau anime Jepang ini, sosok Onizuka ingin menghidupkan kembali sisi humanisme dalam pendidikan. Onizuka ingin menunjukkan seorang guru pun tak perlu malu untuk memperlihatkan sisi-sisi kelemahan dan kekurangannya. Onizuka tidak ingin menunjukkan sosok guru yang paling berkuasa, paling benar dan tak pernah salah, dan hal ini ada di sosok sang wakil kepala sekolah, yang dari awal pertemuan sudah memberikan aura permusuhan kepada Onizuka.

Onizuka juga tidak pernah melabeli atau memberikan judgement kepada siswa-siswanya. Tiap dia mendengar sesuatu tentang siswanya, dia akan mencari tahu kebenarannya dan kemudian mencari solusinya. Onizuka tetap melihat siswa-siswanya sebagai manusia. Sejalan dengan konsep memanusiakan manusia dalam dunia pendidikan.

Setelah menonton sosok Onizuka yang kontroversial, kemudian terbersit pertanyaan tentang pendidikan humanisme dan guru yang humanis. Apakah semangat-semangat dalam mendidik yang humanis di sosok Onizuka bisa kita tularkan ke siswa-siswa kita.

Istilah pendidikan humanisme muncul saat pendidikan sudah berjalan tidak di jalurnya. Pendidikan hanya berjalan satu arah, guru memberi materi dan siswa hanya menerima dan mendengarkan, guru selalu benar dan tidak bisa dibantah, siswa yang merasa terkekang, stres dan bahkan depresi terhadap proses pendidikan, siswa yang takut masuk sekolah dengan bayang-bayang hukuman dan masih banyak lagi. Sekolah menjadi sesuatu yang menyeramkan bagi siswa. Mengenyam pendidikan tidak lagi menyenangkan, tidak lagi menjadi sebuah kebutuhan.

Pendidikan sering halnya muncul dengan wajah yang menakutkan, siswa dipandang sebagai objek pendidikan dan guru sewenang-wenang dalam hal proses pembelajaran sehingga menimbulkan terkendalanya proses kritis dan inofasinya siswa. Sering terjadi dewasa ini guru menghukum siswa dengan cara yang tidak manusiawi.

Sekolah seharusnya dapat menjadi benteng dalam mencetak karakter bangsa dan pengajaran harus dapat menumbuhkan potensi-potensi siswa yang beragam. Sehingga dapat mencetak anak-anak bangsa yang berkarakter. Maka dari itu perlu sistem pendidikan humanis sebagai solusinya.

Menurut ki Hajar Dewantara, pendidikan merupakan tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, maksudnya ialah pendidikan menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.

Dalam mewujudkan pendidikan yang humanis, maka perlu dukungan penuh dari sekolah dalam menetapkan metode pendidikan humanis sebagai upaya untuk menghapus kekerasan yang terjadi pada sekolah, dimana sekolah merupakan tempat mengembangkan potensi, bakat serta membentuk karakter siswa yang baik.

Pembelajaran merupakan salah satu proses dalam menjalankan pendidikan, terdapat tiga lingkup komponen dalam membentuk pembelajaran, yaitu  sumber, proses, dan produk. Instrumen untuk tercapainya tujuan pendidikan adalah kurikulum, kurikulum merupakan pedoman pelaksanaan pembelajaran pada semua jenis tingkat pembelajaran, dengan adanya kurikulum pembelajaran akan terstruktur sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar peserta didik.

Dalam hal ini, guru memiliki peran penting dalam menentukan keberhasilan seorang siswa melalui proses pembelajaran, dimana guru harus menciptakan pembelajaran yang kreatif, inovatif, aktif dan efektif. Namun terdapat beberapa kendala yang dihadapi dalam proses pembelajaran berdasarkan konsep pendidikan humanisme yaitu proses pembelajaran siswa lebih fokus pada pengembangan potensi siswa.

Metode pembelajaran ini lebih mengarah pada kemampuan siswa untuk menghafal materi yang diajarkan bukan untuk dianalisis. Sehingga pengembangan intelektual siswa tidak tercapai dan menciptakan generasi yang pandai secara teoritis, bukan yang cerdas dalam menganalisa.

Abraham Maslow sangat dikenal karena juga merupakan pelopor aliran psikologi humanistik. Teorinya yang sangat terkenal sampai dengan saat ini yaitu teori tentang Hierarchy of Needs (Hirarki Kebutuhan). Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri).

Hierarchy of needs (hirarki kebutuhan) dari Maslow menyatakan bahwa manusia memiliki lima macam kebutuhan yaitu physiological needs (kebutuhan fisiologis), safety and security needs (kebutuhan akan rasa aman), love and belonging needs (kebutuhan akan rasa kasih sayang dan rasa memiliki), esteem needs (kebutuhan akan harga diri), dan self-actualization (kebutuhan akan aktualisasi diri).

Menurut Maslow, pendidikan yang humanis itu harus memenuhi lima macam kebutuhan ini. Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan yang paling utama, misalnya dengan makan, minum, istirahat, bahkan kebutuhan untuk buang air kecil dan besar.

Pertanyaannya sekarang, apakah seluruh sekolah telah memenuhi kebutuhan fisiologis ini? Apakah siswa, dan juga seluruh warga sekolah, mendapatkan akses makan dan minum yang bersih dan layak? Apakah waktu istirahat sudah mencukupi? Apakah toilet di sekolah juga layak untuk siswa, guru dan seluruh warga sekolah? Karena jika kebutuhan dasar ini tidak terpenuhi, maka kebutuhan lainnya akan terhambat.

Guru dan Siswa Humanis

Penerapan pendidikan humanis akan menciptakan guru dan siswa yang humanis. Karena proses pembelajaran akan terjadi dua arah, saling memberikan empati, saling bertukar masalah dan berbagi solusinya dan yang paling penting tidak ada relasi kuasa yang tidak seimbang. Guru menghargai siswanya, siswa menghormati gurunya.

Dalam pendidikan humanis, guru harus memperhatikan pendidikan yang lebih responsif terhadap kebutuhan afektif siswa. Kebutuhan afektif adalah kebutuhan yang berhubungan dengan emosi, perasaan, nilai, sikap, predisposisi, dan moral.

Guru yang afektif bisa menjadi guru-guru yang humanis. Mereka mempunyai rasa humor, adil, menarik, lebih demokratis daripada autokratik, dan mereka mampu berhubungan dengan mudah dan wajar dengan para siswa, baik secara perorangan ataupun secara kelompok.

Ciri-ciri guru yang afektif dalam pendidikan humanisme antara lain:

a. Guru yang mempunyai persepsi bahwa siswanya mampu memecahkan masalah mereka sendiri dengan baik

b. Guru yang memprediksi bahwa siswanya mempunyai sifat ramah, bersahabat serta memiliki sifat ingin berkembang.

c. Guru yang menghargai siswanya.

d. Guru yang mempunyai persepsi bahwa siswanya dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dari dalam dirinya sendiri. Dia melihat siswanya mempunyai kreativitas dan dinamika dan bukan orang yang pasif.

e. Guru yang menganggap pada dasarnya siswa dapat dipercaya dan dapat diandalkan.

f. Guru yang memandang siswanya dapat memenuhi dan meningkatkan dirinya.

Bagaimana dengan siswanya? Pendidikan humanis membantu siswa dalam mengembangkan dirinya sesuai dengan potensinya. Bimbingan yang tidak mengekang siswa dalam proses pembelajaran mempermudah penanaman nilai-nilai yang memberi informasi mengenai hal yang positif dan negatif.

Proses dapat belajar berjalan lancar apabila siswa dapat menguji kemampuannya, pengalaman baru dengan membuat kesalahan-kesalahan tanpa mendapat ancaman yang dapat menyinggung perasaannya. Belajar atas inisiatif siswa sendiri dapat memusatkan perhatian siswa baik pada proses maupun terhadap hasil belajar.

Kebebasan yang diusung dalam pendidikan humanis adalah kebebasan yang bebas nilai. Kebebasan dalam segala aspek kehidupan. Peserta didik berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan peserta didik memahami potensi diri mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.

Saat masih menempuh pendidikan tinggi, saya sempat mengajar mata pelajaran Sejarah di beberapa sekolah. Dan sempat mencoba untuk mengembangkan pendidikan humanis selama saya mengajar. Menurut saya, materi-materi di mata pelajaran Sejarah sangat bisa dikembangkan menjadi materi untuk pembentukan karakter atau character building.

Namun ternyata memang idealisme tak selalu sejalan dengan realita. Setelah beberapa kali menerapkan pendidikan humanis di kelas, saya menyadari, pendekatan ini membutuhkan banyak waktu. Sedangkan mata pelajaran sejarah sangat banyak materinya. Dengan melakukan pendidikan humanis, justru siswa-siswa saya ketinggalan materi pelajaran yang akan diujikan dalam ujian.

Kurikulum saat itu, dimana siswa ditekan untuk meraih nilai sebesar mungkin, menghapal sebanyak mungkin, mengutamakan hasil daripada proses pembelajarannya, sangat sulit untuk saya menerapkan pendidikan yang humanis. Justru saya malah merasa menjadi bagian dalam ‘lingkaran setan’ dalam mencetak siswa-siswa seperti robot.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement