Jumat 22 Jul 2022 20:32 WIB

Hikmahanto Sebut Upaya Kolektif Bisa Buat Rusia-Ukraina Gencatan Senjata

Perang Rusia-Ukraina mendisrupsi rantai pasok global energi, makanan, dan pupuk.

Pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana.
Foto: Dok Humas Polri
Pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Upaya individual dari siapa pun tidak akan bisa mewujudkan gencatan senjata antara Rusia dan Ukraina. Kedua negara itu terus berperang sampai saat ini.

Pakar hukum internasional Prof Hikmahanto Juwana menyebutkan, upaya untuk menghentikan peperangan antara kedua negara tersebut, harus dilakukan secara kolektif dan sinergis. Dengan begitu, gencatan senjata antara kedua negara bisa direalisasikan.

"Harus upaya kolektif, baik antara negara-negara yang terlibat perang secara langsung, maupun negara-negara yang mendukung salah satu pihak," kata Hikmahanto dalam Webinar Moya Institute bertajuk ;Prospek Penyelesaian Perang Rusia-Ukraina: Upaya Kolektif atau Individual?' di Jakarta, Jumat (22/7/2022).

Baca: IMF: Perang Ukraina Versus Rusia Pengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Global

Menurut Hikmahanto, upaya kolektif harus melibatkan negara yang tidak memihak, baik kepada Rusia maupun Ukraina. Negara tersebut wajib turut berupaya menghadirkan gencatan senjata untuk menghindari krisis yang dihadapi dunia.

Hikmahanto mengingatkan, kontak informal perlu dilakukan di antara para pemimpin negara di dunia. Dia melihat, Presiden Joko Widodo (Jokowi) selaku ketua presidensi G-20, sudah melakukan cara itu dengan mendekati Ukraina dan Rusia.

"Dan ke depannya, diharapkan Presiden (Jokowi) juga akan melakukan langkah serupa dengan pemimpin negara-negara Asia seperti China dan Jepang. Hal ini sangat bagus sekali, dan Presiden juga bisa menyampaikan proposal Indonesia di Forum G-20, dalam kontak-kontak informal itu agar perekonomian dunia bisa kembali maju lagi," ucap rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani tersebut.

Baca: Selain Jokowi, tak Ada Kepala Negara yang Bisa Bawa Ibu Negara ke Rusia-Ukraina

Sebisa mungkin, kata Hikmahanto, gencatan senjata terwujud sebelum pelaksanaan KTT G-20 di Bali pada pertengahan November 2022. Namun, apabila hal itu tak berhasil, skenario buruknya adalah pada saat KTT G-20, gencatan senjata bisa disepakati delegasi yang hadir.

"Karena negara-negara yang terlibat atau terkait perang Rusia-Ukraina semua hadir di forum itu. Maka, Indonesia bisa memanfaatkan momentum itu untuk mengupayakan gencatan senjata," ucap Hikmahanto.

Pemerhati politik internasional dan isu-isu strategis Prof Imron Cotan juga berharap, forum KTT G-20 menjadi momentum menuju terwujudnya gencatan senjata antara Rusia dan Ukraina. Menurut Imron, gencatan senjata punya beberapa arti penting.

Yang pertama, gencatan senjata bisa membuka peluang lebih besar bagi terwujudnya perdamaian. Pasalnya, sudah ada good will dari kedua belah pihak yang bertikai. "Dalam proses gencatan senjata itu, para pihak yang terlibat akan memiliki peluang yang sama untuk berbicara, sehingga proses perdamaian pun menjadi lebih terbuka," ujar Imron.

Kemudian, arti penting lainnya adalah proses itu akan membuka koridor humanitarian bagi para korban perang. Selain itu, Cotan melanjutkan, gencatan senjata juga bisa membantu dunia menghindarkan diri dari krisis pangan dan energi, di tengah-tengah ancaman pandemi Covid-19 yang belum mereda.

"Karena perang Rusia-Ukraina bukan hanya berdampak pada kedua negara tersebut saja, tetapi mendisrupsi rantai pasok global energi, bahan makanan dan pupuk, yang sangat dibutuhkan dunia. Sebagai contoh, Eropa mengimpor 30 persen energi fosil dari Rusia, sedangkan untuk gas, Eropa mengimpor 46 persen dari Rusia," ucap Imron.

Baca: Prof Imron Cotan: Indonesia Bisa Tengahi Perang Rusia-Ukraina

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement