REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Menyambut hari Bhakti Adhyaksa ke 62, yang jatuh pada 22 Juli 2022, pengamat hukum Universitas Indonesia (UI), Eva Achjani Zulfa, melihat cukup banyak pergerakan yang dilakukan Kejaksaan pada masa sekarang.
“Pergerakan institusi Kejaksaan, pada era Jaksa Agung yang sekarang, mulai kelihatan,” kata Eva, Rabu (20/7/2022).
Kejaksaan tidak lagi hanya seperti tukang pos, yang hanya mengantar berkas perkara dari polisi ke pengadilan. Dikatannya, sebelumnya Kejaksaan ini terhimpit di antara lembaga kepolisian dan pengadilan, seolah hanya menjadi tempat transit perkara.
“Polisi yang melakukan penyidikan lalu Kejaksaan yang mengirimnya ke pengadilan. Seolah Kejaksaan perannya hanya tukang pos, mengirim berkas polisi ke pengadilan,” kata Eva.
Saat ini, ungkap Eva, Kejaksaan Agung mulai mengambil langkah lebih aktif. Misalnya aturan kalau perkara P19 tidak boleh duakali. Jika lebih duakali maka kasus diambil alih Kejaksaan.
“Rumah restoratif juga dibangun luar biasa di banyak tempat yang merupakan gagasan dari Jaksa Agung,” papar dosen senior ini. Langkah-langkah Ini, lanjut Eva sangat baik dan positif.
Meski sudah melakukan terobosan, Eva melihat seharusnya perubahan untuk makin mengintegrasikan kinerja lembaga hukum, maupun peningkatan kinerja Kejaksaan, dilakukan melalui perubahan di KUHAP.
Eva memaparkan, kewenangan Kejaksaan yang ada di KUHAP dan peraturan perundang-undangan yang lain, belum menjadikan Kejaksaan ini sebagai ujung tombak.
Dicontohkannya, dalam KUHAP disebutkan penyidik itu adalah penyidik Polri dan PPNS, karena itu ujung tombak bekerjanya sistem peradilan pidana. Sementara Kejaksaan hanya penyidik untuk kejahatan-kejahatan yang sifatnya khusus.
“Dengan posisi seperti itu (sesuai ketentuan di KUHAP), kebijakan-kebijakan yang diambil alih Jaksa Agung saat ini, seperti P19 tidak boleh duakali, membangun rumah restoratif di banyak daerah, bisa efektif?. Saya ingin mengatakan berlawanan dengan kebijakan atau politik hukum yang rujukannya adalah KUHAP,” papar pakar ilmu pidana ini.
Menurut Eva, kebijakan ini memang bisa membuat rivalitas antara polisi dan kejaksaan. Sekalipun, lanjut dia, rivalitas ini juga bisa baik karena mendorong persaingan untuk bekerja lebih baik. “Tapi bisa juga ada rivalitas yang tidak sehat. Itu yang tidak kita inginkan,” kata Eva.
Idealnya, menurut Eva, Jaksa seharusnya punya kewenangan dominis litis (pengendali perkara). “Hanya saja peran dominis litis ini dikurangi dalam KUHAP kita. Seharusnya jaksa sebagai dominis litis posisinya dalam proses penyelidikan-penyidikan itu sebagai supervisor,” ungkap Eva.
Eva mengatakan harus ada perubahan-perubahan ini harus dilakukan di KUHAP. Dijelaskannya, sudah terlalu banyak surat kesepakatan bersama antara Kejaksaan Agung, Mabes Polri. Mahkamah Agung. “Hal-hal seperti itu harusnya diintegrasikan di KUHAP,” kata Eva.