REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengungkapkan terdapat ketidakpatuhan lembaga negara terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal putusan tersebut sudah bersifat final dan mengikat.
Hal tersebut disampaikan Wahiduddin saat memberikan Kuliah Umum “Kepatuhan Lembaga Negara dalam Mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember (FH Unmuh Jember) secara daring pada Sabtu (16/7/2022).
"Ada problem terdapat ketidakpatuhan terhadap Putusan MK. Putusan yang bersifat final dan mengikat tidak selalu berjalan secara konsekuen," kata Wahiduddin yang dikutip Republika.co.id pada Ahad (17/7/2022).
Wahiduddin menegaskan pada dasarnya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap sudah dapat dilaksanakan.
Hanya saja pada kenyataannya, tidak semua putusan itu dapat dilaksanakan atau dieksekusi termasuk putusan MK yang seringkali menjadi perdebatan terkait dengan kekuatan eksekutorialnya. "Dalam praktiknya belum tentu semua dapat dilaksanakan termasuk Putusan MK," ujar Wahiduddin.
Dalam kesempatan tersebut, Wahiduddin menjelaskan hasil penelitian terkait pelaksanaan Putusan MK.
Pada 2018, hasil penelitian menunjukkan sebanyak 59 putusan PUU atau sebesar 54,12 persen telah dipatuhi seluruhnya oleh lembaga negara, sebanyak enam putusan (5.5 persen) dipatuhi sebagian, sebanyak 24 putusan (22.01 persen) tidak dipatuhi, serta sebanyak 20 putusan (18.34 persen) dengan status belum diketahui. "Belum diketahui dalam hal ini adalah belum bisa diidentifikasi tingkat kepatuhannya," ucap Wahiduddin.
Wahiduddin mengungkapkan sejumlah putusan MK yang tidak dipatuhi, antara lain Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 dan Putusan MK Nomor 10/PUU-XV/2017. Ia menjelaskan secara normatif, Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 telah dipatuhi oleh KPU dengan diterbitkannya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 26 Tahun 2018 yang materi perubahan PKPU a quo mengakomodir putusan MK.
"Namun, secara praktis, putusan MK tidak dipatuhi, dibuktikan dengan Putusan MA Nomor 65 P/HUM/2018 justru membatalkan PKPU Nomor 26/2018 tersebut. Dengan demikian, bentuk ketidakpatuhannya diwujudkan secara praktis dalam proses atau putusan pengadilan," ucap Wahiduddin.
Wahiduddin menyatakan ketidakpatuhan terhadap Putusan MK sama halnya dengan menunda keadilan. Padahal dia mengingatkan melaksanakan putusan MK secara segera merupakan kewajiban karena sifat finalnya sebuah putusan tersebut.
"Hukum merupakan perpaduan konsensus dan paksaan, maka putusan MK merupakan bentuk hukum yang harus juga dimaknai sebagai paksaan yang wajib untuk ditaati," tegas Wahiduddin. Rizky Suryarandika