Ahad 17 Jul 2022 13:10 WIB

Ketika Prof Azyumardi Azra Berjibaku Memperjuangkan Perlindungan Kemerdekaan Pers

Selematkan kebebasan pers dari ancaman Kriminalisasi RUU KUHP

Jurnalis tengah menulis berita. (ilustrasi).
Foto:

Tidak pernah merdeka 

Berkaca pada sejarah, sejak Proklamasi RI, kemerdekaan pers sebenarnya tidak pernah terbebas dari ancaman. Rezim pemerintahan Presiden RI pertama Bung Karno dan Presiden RI kedua Pak Harto yang lebih setengah abad memerintah adalah  masa  paling suram  dalam kehidupan pers Nasional. Dua rezim itu memberangus surat kabar dan memenjarakan wartawan tanpa proses pengadilan. 

Ketika duduk sebagai  Ketua Pembelaan Wartawan di PWI Jaya dan di PWI Pusat saya membuat kategorisasi ancaman pers. Ancaman itu sebagai berikut.

1. Ancaman penguasa /pemerintah

2. Ancaman dari preman dan tukang pukul

3. Ancaman pemilik modal

4. Ancaman profesi. 

Pada masa Orde Lama dan Orde Baru ancaman didominasi oleh pemerintah.  Saya menjadi pengurus PWI di dua rezim : Orde Baru dan Masa Reformasi. 

Di masa Orde Baru sumber hukum pers adalah UU No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966. Namun UU itu dengan mudah dikooptasi penguasa lewat Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri Penerangan.  Melalui dua perangkat peraturan itu pemerintah betul- betul berlaku seperti " Tuhan" menentukan nasib media pers dan wartawan di masa itu.

Sampai kemudian gerakan reformasi di berbagai bidang  terjadi tahun 1998. Yang mengakhiri pemerintahan Orde Baru, sekaligus penderitaan pers Indonesia. Lahirlah lahirlah UU Pers No 40 /1999 sebagai anak kandung  reformasi. Karena merupakan  perwujudan kehendak bangsa untuk mengawal kemerdekaan pers, insan pers pun seperti menemukan oase di tengah padang pasir. Saya mencatat ancaman terhadap pers mengalami pergeseran, tinggal berikut ini:

1. Ancaman dari preman dan tukang pukul

2. Ancaman pemilik modal

3. Ancaman profesi.

Diawal - awal reformasi aksi preman dan ormas bersimaharajalela  menggeruduk kantor media pers. 

Aksi pemerintah tiada lagi, entah melalui jalan " belakang".  Roh UU Pers 40/1999 memang menutup akses langsung bagi pemerintah untuk campur tangan mengatur kehidupan pers. Namun,  siapa menyangka bulan madu kemerdekaan pers Indonesia hanya berlangsung singkat. Secara formal Pemerintah memang tampak tidak campur tangan lagi secara langsung. Tetapi  melalui cabang kekuasaan yang lain, pemerintah dan parlemen terus memproduksi jerat hukum  yang mengancam kemerdekaan pers.  UU ITE, salah satunya.  Sekarang  menyusul  RUU KUHP yang sedang digodog di parlemen yang membuat Prof Azyumardi harus terjaga siang malam. 

Tanpa ancaman jerat hukum itu saja pun pers sekarang sudah seperti kehabisan nafas menghadapi pemilik modal yang amat dominan mengancam keberlangsungan fungsinya. Tidak ada halangan bagi mereka ( pemilik media) kapan  saja mau memberhentikan pemimpin redaksi atau penangggung jawab redaksi yang tidak menguntungkan korporasinya maupun kolaborasinya dengan pemerintah. 

Bukan cerita isapan jempol, tengah malam boss terganggu, tidak enak hati, dia  bisa memberhentikan penanggung jawab media sebelum ayam berkokok, esok paginya. Dari aspek  ini berbanding  terbalik dengan di masa Orde Baru, yang untuk mengangkat dan memberhentikan pemimpin redaksi bisa menelan waktu bertahun-tahun mengurusnya.  Kini, pemilik  modal menempati urutan pertama sebagai ancaman kemerdekaan pers. Peringkat kedua, ancaman profesi, dari kalangan wartawan sendiri.  Ketiga, ancaman ormas maupun preman yang mulai mengendur.

Saya kira dibandingkan perjuangan melawan penguasa dan preman, Prof Azyumardi akan menghadapi perkara rumit dalam mengatasi ancaman profesi ini. Ancaman itu banyak bersumber  karena kekurangpahaman; karena sikap mental petualang, dan mental mengejar  keuntungan sendiri. Golongan terakhir ini bisa jadi berpengetahuan cukup, mengerti dan memahami peraturan perundang-undangan, namun pengetahuannya  dimanfaatkan untuk mencari celah demi kepentingan dan keuntungan golongannya sendiri. 

Golongan ini  menyebar di institusi resmi pers dan media, yang sering lancang  menafsir-nafsir aturan untuk jadi "tambangnya.". Yang dalam prakteknya mencatut atasnama rakyat untuk mengebiri pers. Saya mencatat pada tahun 2017 muncul dengan produknya berupa larangan kepada  wartawan meliput aksi 212 serta menyiarkan secara langsung sidang putusan Basuki Tjahaja Purnama di Pengadilan.

Padahal, setelah reformasi segala larangan yang membatasi aktifitas publik sah jika diputuskan pengadilan. Saya ingat argumentasi yang digunakan melarang, yang isinya karangan semata mencatut stabilitas. Pertimbangan itu bukan wewenang institusi pers, mau Dewan Pers, KPI apalagi organisasi. Pers. Pertimbangan seperti itu mestinya lahir dari institusi keamanan. Menggunakan alasan stabilitas institusi pers itu malah melecehkan kemampuan profesional aparat keamanan, dan mengintervensi wewenang hakim di pengadilan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement