Jumat 08 Jul 2022 19:13 WIB

Ini Aturan Penyelenggaraan Qurban di Surabaya

Kegiatan pemotongan hewan kurban dianjurkan dilakukan di Rumah Potong Hewan (RPH).

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Ratna Puspita
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi
Foto: Dok Humas
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi meminta panitia kurban atau takmir masjid memperhatikan pedoman pelaksanaan pemotongan hewan kurban di tengah wabah penyakit mulut dan kuku (PMK). Pertama mencakup syarat dan administrasi, yakni kegiatan pemotongan hewan kurban dianjurkan dilakukan di Rumah Potong Hewan (RPH). 

Pemotongan hewan kurban di luar RPH hanya dilakukan untuk pelaksanaan upacara keagamaan, upacara adat, atau darurat. “Apabila dilakukan di luar RPH maka tempat pemotongan hewan kurban harus mendapat persetujuan dari Pemkot Surabaya melalui camat setempat," kata Eri di Surabaya, Jumat (8/7/2022).

Baca Juga

Eri melanjutkan, hewan kurban yang dibeli dari luar kota harus dibuktikan dengan Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH) atau Surat Veteriner (SV) dari daerah asal dan didatangkan atau disiapkan di lokasi mendekati hari pemotongan. Untuk hewan kurban yang dibeli dari peternak lokal atau tempat penjualan hewan kurban di wilayah Kota Surabaya dan belum diperiksa atau belum memiliki SKKH dari Pemkot Surabaya, dapat mengajukan pemeriksaan hewannya kepada Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kota Surabaya melalui camat setempat.

“Apabila telah memiliki, sudah tidak perlu dilakukan pemeriksaan, kecuali ditemukan hewan sakit atau gejala PMK,” ujarnya.

Eri melanjutkan, persyaratan teknis tempat pemotongan hewan kurban di luar RPH, harus tersedia fasilitas penampungan hewan. Yakni, memiliki pagar atau pembatas atau tindakan tertentu agar hewan tidak berkeliaran dan tidak memungkinkan hewan ternak lain masuk ke tempat pemotongan hewan serta memiliki lahan pemotongan yang cukup dengan jumlah hewan. 

“Tersedia tempat khusus terpisah (isolasi) untuk hewan yang diduga PMK atau sakit dan tersedia fasilitas pemotongan hewan yang memenuhi persyaratan higiene sanitasi. Jika memungkinkan tersedia fasilitas pemotongan darurat dan tersedia fasilitas untuk menampung limbah. Sebab limbah tidak boleh keluar dari tempat pemotongan sebelum didisinfeksi atau dibakar,” kata Eri.

Selanjutnya, panitia kurban atau takmir masjid harus menyampaikan rencana pemotongan hewan di luar RPH kepada camat setempat. Nantinya, pihak kecamatan setempat dapat melakukan pemeriksaan terhadap lokasi pemotongan hewan kurban di luar RPH untuk memastikan terpenuhinya persyaratan teknis tempat pemotongan hewan kurban.

“Panitia dapat diusulkan oleh camat setempat kepada pejabat otoritas veteriner/DKPP Kota Surabaya untuk dilakukan pemeriksaan kesehatan hewannya sebelum (ante mortem) dan setelah (post mortem) pemotongan,” ujarnya.

Selama pelaksanaan kegiatan, panitia bertanggung jawab terhadap kebersihan tempat dan di lingkungan tempat pemotongan hewan kurban. Yakni, melakukan disinfeksi terhadap kendaraan pengangkut hewan saat kedatangan dan sebelum meninggalkan tempat pemotongan hewan kurban. 

Disinfeksi ada saat kedatangan dilakukan dengan cara penyemprotan pada roda kendaraan pengangkut, bak pengangkut dan hewan. “Disinfeksi pada saat meninggalkan tempat pemotongan hewan kurban dilakukan pada seluruh bagian kendaraan. Panitia juga wajib melaporkan kepada pihak kecamatan setempat setiap kedatangan hewan kurban, menginformasikan jenis, jumlah, dan asal hewan atau jika menemukan hewan sakit atau diduga sakit,” kata Eri.

Panitia diperbolehkan memotong hewan yang terkena PMK dengan ketentuan yang telah diatur dalam fatwa MUI. Yaitu, hewan dengan gejala klinis kategori ringan, seperti lepuh ringan pada cela kuku, kondisi lesu, tidak nafsu makan dan keluar air liur berlebih dari biasanya atau hewan yang terkena PMK dengan gejala klinis kategori berat, sembuh dari PMK dalam rentan waktu yang diperbolehkan kurban.

Eri juga mengingatkan untuk melaksanakan proses pemotongan hewan kurban sesuai dengan kaidah tata cara pemotongan hewan kurban yang diatur dalam syariat Islam. Selain itu, melakukan penanganan daging, jeroan, dan limbah secara terpisah, dengan cara memisahkan area dan petugas pemotongan daging, penanganan jeroan dan limbah.

“Tidak melakukan pencucian pada daging serta melakukan afkir pada jeroan yang tidak layak, ditemukan cacing hati, warna jeroan yang lebih pucat dari biasanya, ditemukan benjolan-benjolan terutama pada bagian paru dan lainnya,” ujarnya.

Selanjutnya, tidak melakukan pencucian dan pembuangan jeroan atau limbah di saluran air terbuka seperti sungai, selokan, dan lainnya. Mendistribusikan daging dan jeroan dalam waktu kurang dari lima jam apabila didistribusikan dalam bentuk mentah. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement