Kamis 07 Jul 2022 18:48 WIB

Menanti Kebijakan Bagi Generasi Muda Berpenghasilan Rendah Bisa Membeli Rumah

Keuangan negara difokuskan bantu masyarakat berpenghasilan rendah miliki rumah.

Pekerja menyelesaikan pembangunan perumahan di Desa Tinggede, Sigi, Sulawesi Tengah, Kamis (24/2/2022). Kementerian PUPR menyebutkan secara nasional terdapat kekurangan (backlog) kepemilikan perumahan hingga 11 juta dan backlog keterhunian 7,6 juta yang 93 persennya merupakan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) informal.
Foto: Antara/Basri Marzuki
Pekerja menyelesaikan pembangunan perumahan di Desa Tinggede, Sigi, Sulawesi Tengah, Kamis (24/2/2022). Kementerian PUPR menyebutkan secara nasional terdapat kekurangan (backlog) kepemilikan perumahan hingga 11 juta dan backlog keterhunian 7,6 juta yang 93 persennya merupakan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) informal.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Novita Intan

Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Rabu (6/7/2022) menyatakan situasi pandemi menambah kesulitan generasi muda dalam membeli rumah. Ia mengatakan, situasinya generasi muda saat ini banyak yang membutuhkan rumah namun tidak memiliki kemampuan untuk membeli karena harganya yang lebih tinggi dari kemampuan.

Baca Juga

Pengamat ekonomi Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menyatakan pemerintah perlu membuat kebijakan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang mempermudah para milenial atau masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk mendapatkan rumah. "Pemerintah harus membuat kebijakan untuk ini, pertama Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) ditambah dan prosesnya juga dipercepat," kata Bhima saat dihubungi di Jakarta, Kamis (7/7/2022).

Kedua, menurut Bhima, bank Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) juga harus memberikan suku bunga fix rate yang rendah dan tidak mengikuti bunga pasar. Selanjutnya, kredit konstruksinya juga harus diberikan relaksasi. "Agar para masyarakat berpenghasilan rendah bisa membeli rumah atau bisa melakukan cicilan KPR," ucapnya.

Selain itu,Bhima menambahkan pemerintah juga harus memaksimalkan program bank tanah untuk penyediaan lahan agar masyarakat miskin tidak lagi kesulitan membeli rumah atau tempat tinggal. "Pemerintah harus mempercepat pengadaan tanah untuk perumahan rakyat melalui Bank Tanah. Ini penting karena banyak masyarakat berpenghasilan rendah sulit mendapatkan akses tanah dengan harga terjangkau untuk membeli rumah," katanya.

Di satu sisi, Bhima juga memprediksi outlook properti di akhir tahun 2022 masih lebih baik jika dibandingkan dengan tahun 2021. "Banyak yang terdorong untuk membeli rumah tahun ini karena sebelumnya sempat tertunda karena pandemi," ucapnya.

Pengamat ekonomi INDEF Agus Herta Sumarto menilai sektor properti masih sangat dipengaruhi kondisi ekonomi yang belum benar-benar pulih dari dampak pandemi. "Saat ini konsumen properti menghadapi dua beban sekaligus. Pertama, kenaikan suku bunga KPR dan kedua daya beli yang belum benar-benar pulih. Inilah yang kemudian menjadikan kinerja sektor properti belum bergairah seperti sebelum pandemi," kata Agus.

Agus mengatakan tantangan di sektor properti masih cukup besar dan proses pemulihan ekonomi sepertinya tidak secepat yang diharapkan hingga akhir 2022, karena para pelaku industri properti masih akan melakukan aksi wait and see terhadap kondisi geopolitik global. "Di sisi lain, bagi masyarakat yang memiliki dana lebih dan dana cadangan yang cukup, saat ini merupakan waktu yang tepat untuk membeli properti karena harga-harga properti saat ini mulai melandai,"kata Agus.

Oleh karena itu, menurut dia, terdapat dua alternatif yang bisa dilakukan untuk mendorong sektor properti. Yaitu melalui relaksasi perpajakan kepada pengembang agar harga rumah bisa lebih murah atau melonggarkan batas Loan To Value(LTV) untuk mempermudah kredit konsumen.

"Jika memiliki di sisi penawaran maka pemerintah bisa memberikan relaksasi perpajakan sehingga harga properti bisa lebih murah, atau BI menaikkan nilai Loan to Value (LTV) sehingga konsumen memiliki kelonggaran untuk membeli properti dengan cara kredit," katanya.

Namun, menurut Agus, langkah ini juga harus dibarengi dengan manajemen risiko yang baik, karena meningkatkan LTV juga berpotensi menaikkan risiko pembiayaan. "Jangan sampai kebijakan pelonggaran LTV ini malah menciptakan non performing loan (NPL) bagi lembaga pembiayaan," tambahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement