REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menggandeng aplikasi pengasuhan anak atau parenting dalam percepatan penurunan angka stunting untuk mewujudkan keluarga Indonesia yang lebih berkualitas.
"BKKBN merupakan penanggung jawab percepatan penurunan stunting di Indonesia akan melakukan berbagai upaya, salah satunya dengan bersinergi bersama ahli dan lembaga yang memiliki visi serta misi yang sama dengan kami, seperti Tentang Anak," kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dikutip dari keterangan pers, pada Selasa (5/7/2022).
Melalui kerja sama dengan aplikasi parenting tersebut, BKKBN berupaya menjangkau lebih banyak keluarga Indonesia dalam meningkatkan edukasi, advokasi, komunikasi, dan melakukan rangkaian kegiatan bersama untuk sinergitas program pembangunan keluarga berencana. Hasto mengatakan, terdapat banyak upaya yang dapat dilakukan untuk membangun keluarga berkualitas guna menciptakan generasi muda yang unggul dan maju, di antaranya dengan perencanaan keluarga yang matang oleh orang tua atau calon orang tua sedini mungkin.
Indikator untuk membangun generasi muda Indonesia yang unggul dan maju, menurut dia, dapat dimulai dengan menekan angka gagal tumbuh pada anak atau stunting. Targetnya, pada 2024, angka prevalensi stunting harus turun hingga di bawah 14 persen.
"Momentum Harganas (Hari Keluarga Nasional) ini, kami berharap dapat menjadi momen yang tepat untuk mempercepat penurunan stunting di Indonesia melalui berbagai rangkaian sinergitas program," ujar Hasto.
Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi FKUI-RSCM Prof. Dr. dr. Dwiana Ocviyanti, SpOG(K), MPH, mengatakan, peningkatan edukasi termasuk mengenai perencanaan kehamilan lewat sinergi BKKBN bersama aplikasi parenting itu penting dilakukan karena masih banyak orang yang belum sepenuhnya paham akan hal tersebut. Perencanaan kehamilan yang dimaksud, kata Dwiana, adalah dengan penggunaan alat kontrasepsi untuk mencegah jarak kelahiran anak yang terlalu dekat, yang akan berpengaruh signifikan terhadap stunting.
Adapun jarak minimal yang direkomendasikan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO) adalah 2 tahun 9 bulan. Menurut Dwiana, saat ini masyarakat khususnya orang tua baru, belum sepenuhnya memahami jenis, manfaat, dan konsekuensi penggunaan alat kontrasepsi yang beredar di masyarakat.
"Oleh karenanya, penting bagi kami selaku praktisi untuk terus melakukan edukasi, dibantu oleh lembaga yang juga memiliki visi serta misi yang sama dalam percepatan menyebarkan edukasi tersebut," ujarnya.