Senin 27 Jun 2022 15:12 WIB

Jaksa Agung Tegaskan Penetapan Tersangka Emirsyah Berbeda dengan Kasus di KPK

Perbuatan tersangka diduga menyebabkan kerugian negara sekitar Rp 8 triliun.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Agus raharjo
Jaksa Agung Republik Indonesia Sanitiar Burhanuddin didampingi Menteri BUMN Erick Thohir, mengumumkan tersangka baru kasus korupsi Garuda, di Kejaksaan Agung, Senin (27/6/2022)
Foto:

Di Kejakgung, penyidikan kasus tersebut, terkait dengan mark-up, dalam pengadaan, sewa, serta pengambilalihan 50 unit pesawat ATR 72-600, juga 18 unit kapal terbang bombardier CRJ 1000. “Akibat dari perbuatan para tersangka, sehingga menimbulkan kerugian negara sebesar 609,81 juta dolar AS, atau nilai ekuivalen (setara) sebesar Rp 8,819 triliun,” ujar Burhanuddin.

Jampidsus Febrie Adriansyah mengatakan, antara kasus yang sudah ditangani oleh KPK dan yang dalam penanganan timnya, berbeda dalam objek perkara. “Di KPK yang sudah ditangani, itu adalah suapnya. Dan di kita, kita maju (penyidikan, dan penetapan tersangka) karena objek perkaranya ini lebih luas, sehingga, kita melihat tidak ada nebis in idem,” ujar Febrie di Kejakgung, Senin (27/6/2022).

Itu sebabnya, kata Febrie, tim penyidiknya menjerat para tersangka dengan sangkaan Pasal 2 ayat (1), dan Pasal 3, serta Pasal 18 UU Tipikor 31/1999-20/2001. Sangkaan tersebut, kata Febrie, lebih luas bukan hanya karena terkait suap-menyuap. Namun, lebih kepada perbuatan para tersangka yang merugikan keuangan negara dan membuat Garuda Indonesia mengalami darurat finansial.

“Dari penyidikan, kita menemukan bukti-bukti terkait dengan pengadaan yang tanpa perencanaan, dan pengadaan yang dilakukan secara cacat prosedur, dan melanggar hukum, sehingga harus ada pertanggung jawaban pidana,” tegasnya.

Direktur Penyidikan Jampidsus, Supardi menjelaskan peran para tersangka. kata dia, dalam perancanaan pengadaan pesawat di Garuda, tersangka SA, selaku Vice President Strategic Management Office PT Garuda Indonesia, tak melakukan analisa pasar, dan tak melakukan perencanaan rute terbang dari jenis armada pesawat yang dibeli.

Tersangka SA, juga dikatakan, tak melakukan laporan analisa tentang kebutuhan jenis pesawat apa yang sesuai dengan model bisnis penerbangan sipil Garuda Indonesia. Dalam pengadaan pesawat CRJ 1000 dan ATR 72-600 tersebut, pun dilakukan tanpa persetujuan dari para direksi PT Garuda Indonesia. “Tidak terdapat rekomendasi, dan persetujuan dari BOD (Board of Commisoners),” begitu kata Supardi.

Dikatakan juga, ES dan HS, selaku Direktur Utama, dan Direktur Teknik PT Garuda Indonesia, bersama tersangka AW, selaku Executive Project Manager Aircraft Delivery di PT Garuda Indonesia, dan tersangka AB, selaku Vice President Treasury Management PT Garuda Indonesia, dan tersangka SA, melakukan tinjauan dan evaluasi pengadaan pesawat secara sepihak. Namun melakukan penunjukan pemenang tender pengadaan CRJ 1000, dan ATR 72-600 tanpa melalui keputusan bersama dewan direksi.

Tersangka ES, kata Supardi juga melakukan pelanggaran internal berupa memberikan informasi tentang pengadaan pesawat CRJ 1000 dan ATR 72-600 tersebut kepada tersangka SS. Dari bekal informasi pengadaan pesawat itu oleh ES, tersangka SS, selaku pihak swasta memberikan suap, dan gratifikasi untuk memutuskan pemenang tender pengadaan kepada perusahaan yang terkait, dan terafiliasi dengan PT MRA.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement