Sabtu 25 Jun 2022 11:11 WIB

Jeda Pilpres ke Pelantikan Terlalu Jauh, Azyumardi: Presiden Lama Bak Bebek Lumpuh

Presiden yang sedang menjabat tak bisa lagi mengeluarkan kebijakan strategis.

Cendekiawan Muslim Indonesia, Prof Azyumardi Azra.
Foto: Dok Muhammadiyah
Cendekiawan Muslim Indonesia, Prof Azyumardi Azra.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cendekiawan Muslim Prof Azyumardi Azra menyatakan, jeda waktu yang lama dari pemilihan presiden hingga pelantikan menjadikan presiden yang menjabat seperti "lame duck" atau "bebek lumpuh".  Presiden itu bak  'bebek lumpuh' karena tidak bisa lagi mengeluarkan kebijakan efektif.

"Yang dimaksud di sini sebagai 'bebek lumpuh', adalah presiden yang sedang menjabat tak bisa lagi mengeluarkan kebijakan yang efektif dan strategis, karena sudah ada presiden dan wakil presiden baru, meskipun belum dilantik," kata Azyumardi dalam keterangan di Jakarta Sabtu.

Baca Juga

Prof Azyumardi Azra menyatakan Pemilihan Presiden 14 Februari 2024, hingga pelantikan Presiden terpilih 20 Oktober 2024 merupakan jeda waktu yang cukup lama. Keanehan yang terbentuk adalah Indonesia seakan memiliki 'dua' Presiden, yakni presiden yang masih menjabat, dan presiden terpilih, hasil pemilu.

Apalagi, lanjut Azyumardi, apabila pascapemilu terjadi gugatan hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK), kemudian MK mengesahkan terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden hasil Pilpres 2024, maka legitimasi presiden terpilih menjadi lebih kuat lagi. Sebaliknya, untuk presiden yang sedang menjabat, akan semakin menjadi "bebek lumpuh".

Situasi semacam itu, lanjut Azyumardi akan mengakibatkan kevakuman pemerintahan selama delapan bulan, atau bisa juga berpotensi terjadi disorientasi pemerintahan.Namun, Azyumardi menyadari keputusan itu susah diubah. Sehingga hal tersebut menjadi pelajaran penting bagi para anggota parlemen hasil Pemilu legislatif 2024.

"Semoga para anggota Parlemen hasil Pileg 2024 nantinya akan memperbaiki hal ini, agar praktik demokrasi kita semakin membaik," ucap Azyumardi.

Direktur Eksekutif SMRC Sirojuddin Abbas membenarkan bahwa segera setelah pilpres, baik putaran satu atau dua, pengaruh atau posisi tawar presiden yang sedang menjabat kemungkinan besar akan menurun di kalangan sekutu politiknya. Periode "lame duck" pun akan terjadi selama 8 atau 4 bulan.

"Pada saat itulah sekutu politik akan pergi ke pemenang atau presiden terpilih. DPR juga mulai tidak responsif terhadap keinginan presiden petahana," kata Sirojudin.

Pengaruh lainnya, lanjut Sirojudin adalah penurunan pengaruh presiden yang menjabat di organisasi pemerintahan, terutama di kementerian yang dipimpin dari kalangan berlatar-belakang parpol. Kerja birokrasi pun menjadi terhambat.

"Birokrasi kita cenderung mendekat kepada kabinet bayangan atau tim pemenang," ujarnya.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement