REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meteorologi Klimatolpgi dan Geofisika (BMKG) mencatat menurunnya kualitas udara di wilayah Jakarta dan sekitarnya disebabkan oleh kombinasi antara sumber emisi dari kontributor polusi udara dan faktor meteorologi yang kondusif untuk menyebabkan terakumulasinya konsentrasi Partikulat (PM) 2.5 alias partikel udara tidak sehat. Hasil pantauan konsentrasi PM 2.5 di BMKG Kemayoran Jakarta menunjukkan bahwa sepanjang Juni 2022 ini konsentrasi rata-rata PM 2.5 berada pada level 41 µg/m3 berada pada kategori sedang.
Plt Deputi Bidang Klimatologi BMKG Urip Haryoko menjelaskan, konsentrasi PM 2.5 memperlihatkan pola diurnal yang mengindikasikan perbedaan pola antara siang dan malam hari. Konsentrasi PM 2.5 cenderung mengalami peningkatan pada waktu dini hari hingga pagi dan menurun di siang hingga sore hari.
"Khusus pada beberapa hari terakhir PM 2.5 mengalami lonjakan peningkatan konsentrasi dan tertinggi berada pada level 148 µg/m3 pada 15 Juni 2022. PM 2.5 dengan konsentrasi ini dapat dikategorikan dalam kategori kualitas udara tidak sehat," katanya seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Selasa (21/6/2022).
Ia menambahkan, tingginya konsentrasi PM2.5, dibandingkan hari hari sebelumnya juga dapat terlihat saat kondisi udara di Jakarta secara kasat mata terlihat cukup pekat/gelap. Pada 16-17 Juni, konsentrasi PM2.5 cenderung turun dibandingkan tanggal 15 Juni saat terjadi konsentrasi yang cukup tinggi.
Namun, BMKG mencatat terjadi kenaikan konsentrasi PM2.5 pada 18 Juni hingga mencapai 147,5 µg/m3. Pada 20 Juni 2022 konsentrasi PM2.5 kembali berada di atas 100 µg/m3.
Perlu diketahui, PM2.5 merupakan salah satu polutan udara dalam wujud partikel dengan ukuran yang sangat kecil, yaitu tidak lebih dari 2,5 µm (mikrometer). Dengan ukurannya yang sangat kecil ini, PM2.5 dapat dengan mudah masuk ke dalam sistem pernapasan, dan dapat menyebabkan gangguan infeksi saluran pernapasan dan gangguan pada paru-paru dalam jangka waktu yang panjang.
"Selain itu, PM2.5 dapat menembus jaringan peredaran darah dan terbawa oleh darah ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya gangguan kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner," ujarnya.
Padahal, dia melanjutkan, Nilai Ambang Batas (NAB) konsentrasi PM2.5 adalah sebesar 65 µg/m3. Dibawah nilai tersebut yaitu antara 15-65 µg/m3 polusi udara berada pada tingkat Sedang dan nilai konsentrasi pada 0-15 µg/m3 berada pada kategori Baik. Diatas NAB, bila berada pada konsentrasi 66-150 µg/m3 kategori Tidak Sehat, bila berada pada nilai 151-250 µg/m3 kategori sangat tidak sehat, dan bila lebih dari 250 µg/m3 berada pada kategori berbahaya.
Sebelumnya, ia menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi konsentrasi PM2.5 tetap memberikan kontribusi pada penurunan kualitas udara di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Pertama, konsentrasi PM2.5 di Jakarta dipengaruhi oleh berbagai sumber emisi baik yang berasal dari sumber lokal, seperti transportasi dan residensial, maupun dari sumber regional dari kawasan industri dekat dengan Jakarta. Emisi ini dalam kondisi tertentu yang dipengaruhi oleh parameter meteorologi dapat terakumulasi dan menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi yang terukur pada alat monitoring pengukuran konsentrasi PM2.5.
Kedua, proses pergerakan polutan udara seperti PM2.5 dipengaruhi oleh pola angin yang bergerak dari satu lokasi ke lokasi yang lain. Angin yang membawa PM2.5 dari sumber emisi dapat bergerak menuju lokasi lain sehingga menyebabkan terjadinya potensi peningkatan konsentrasi PM2.5. Pola angin lapisan permukaan memperlihatkan pergerakan massa udara dari arah timur dan timur laut yang menuju Jakarta, dan memberikan dampak terhadap akumulasi konsentrasi PM2.5 di wilayah ini.
Ketiga, peningkatan konsentrasi PM2.5 memiliki korelasi positif atau hubungan yang berbanding lurus dengan kadar uap air di udara yang dinyatakan oleh parameter kelembapan udara relatif. Pada beberapa hari terakhir, tingginya kelembapan udara relatif menyebabkan peningkatan proses adsorpsi yang dalam istilah teknisnya merujuk pada perubahan wujud dari gas menjadi partikel. Proses ini menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi PM2.5 yang difasilitasi oleh kadar air di udara.
Keempat, kelembapan udara relatif yang tinggi dapat menyebabkan munculnya lapisan inversi yang dekat dengan permukaan. Lapisan inversi merupakan lapisan di udara yang ditandai dengan peningkatan suhu udara yang seiring dengan peningkatan ketinggian lapisan.
Dampak dari keberadaan lapisan inversi menyebabkan PM2.5 yang ada di permukaan menjadi tertahan, tidak dapat bergerak ke lapisan udara lain, dan mengakibatkan akumulasi konsentrasinya yang terukur di alat monitoring.
"Selain beberapa faktor yang telah diuraikan di atas, penyebab lain yang berkontribusi pada memburuknya kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya adalah adanya stagnasi pergerakan udara yang menyebabkan polutan udara yang telah terakumulasi di wilayah ini tidak beranjak dan berimbas pada kondisi yang cenderung bertahan lama," ujarnya.
Ia menambahkan, kondisi stagnasi udara ditandai oleh kecepatan angin rendah yang tidak hanya berimbas pada akumulasi PM2.5, tetapi juga dapat memicu produksi polutan udara lain seperti ozon permukaan (O3), yang keberadaannya dapat diindikasikan dari penurunan jarak pandang. Peningkatan konsentrasi PM2.5 yang berdampak pada penurunan kualitas udara di Jakarta ini memberikan pengaruh negatif pada individu yang memiliki riwayat terhadap gangguan saluran pernapasan dan kardiovaskuler.
"Oleh karena itu, masyarakat diimbau untuk dapat mengurangi aktivitas di luar ruangan dan menggunakan pelindung diri seperti masker yang sesuai untuk dapat mengurangi tingkat paparan terhadap polutan udara," ujarnya.
Masyarakat juga diimbau agar terus memperoleh dan memanfaatkan informasi dan prediksi cuaca maupun iklim terkini dari BMKG. Layanan informasi tersebut dapat diakses melalui https://www.bmkg.go.id, follow @infobmkg, atau dapat langsung menghubungi kantor BMKG terdekat.