REPUBLIKA.CO.ID, JAKRTA -- Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Saifuddin mengatakan, paham radikal saat ini sudah masuk kampus, termasuk di UIN sendiri. Karena itu, menurut dia, kampus sekarang sudah tidak aman dari radikalisme.
"Kampus sudah tidak aman, diinfiltrasi oleh gerakan radikal. Kalau kita runut sejarahnya bukan sesuatu yang datang tiba-tiba," kata Saifuddin dalam diskusi publik bertajuk, "Tantangan Radikalisme di Alam Demokrasi," di Kampus UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta, Kamis (16/6).
Kampus UIN yang notabene kampus Islam moderat juga tidak lepas dari ancaman radikalisme. Menurut dia, transformasi IAIN ke UIN justru menjadi salah satu faktor masuknya radikalisme di kalangan perguruan tinggi.
"Kalau masih IAIN, 65 persen mahasiswanya dari madrasah, 35 persennya dari sekolah umum. Ketika jadi UIN berbalik, 55 persen dari sekolah umum dan 45 persen dari madrasah," ucap dia.
Dia mengatakan, alumni sekolah umum kurang memiliki pengetahuan agama sehingga mudah dipengaruhi oleh kelompok berideologi radikal. Sementara, alumni pesantren yang meneruskan ke UIN sudah tidak lagi belajar agama.
"Alumi sekolah umum itu biasanya kosong dari segi pengetahuan agama lalu dicekoki dengan ideologi radikal. Alumni umum ini haus dengan pengetahuan agama, lalu mereka ketemu dengan kelompok eksklusif. Sementara alumni pondok, tidak lagi belajar agama, tapi filsafat dan sosiologi," jelas dia.
Dalam diskusi yang sama, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti menjelaskan, demokrasi mengakomodir semua ide dan pemikiran, termasuk ide-ide yang menolak demokrasi itu sendiri. Namun, demokrasi tidak bisa mentolerir ide-ide yang mengarah pada tindakan destruktif seperti menyebarkan paham radikal.
"Pada dasarnya, organisasi-organisasi sebagaimana sebutlah HTI, FPI dan lain-lain merupakan suatu wadah yang kita nilai sebagai aspirasi. Sudut pandang kita dalam organisasi tersebut sebenarnya tidak salah,” kata Ray.
Menurut dia, salah satu yang menyebabkan organisasi tersebut dilarang oleh pemerintah karena pengikutnya melakukan tindakan destruktif. “Salah satu hal yang menyebabkan ia dilarang adalah penganut-penganut organisasi tersebut melakukan tindakan destruktif yang dapat mengganggu masyarakat yang lain. Semisal dengan cara melakukan kekerasan dan lain-lain,” jelas Ray.