Kamis 16 Jun 2022 18:28 WIB

Aturan Baru Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah Pascabanyaknya Kritik

Pengangkatan penjabat kepala daerah akan lebih memperhatikan aspirasi masyarakat.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan, pemerintah akan lebih memperhatikan aspirasi masyarakat dalam pengangkatan penjabat kepala daerah.
Foto:

Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Muhammad Ihsan Maulana mengatakan, pemerintah perlu mengatur teknis tata cara evaluasi dari penjabat dan proses pergantian penjabat kepala daerah. Menurut dia, hal ini penting karena undang-undang mengamanatkan agar penjabat harus dilakukan evaluasi setiap tahun.

"Agar proses evaluasi dilakukan secara terukur dan transparan, maka ini juga perlu diatur," ujar Ihsan kepada Republika, Kamis (16/6/2022).

Ihsan mengingatkan agar pemerintah tidak hanya mengatur tata cara atau mekanisme prosedural pengusulan penjabat kepala daerah, melainkan juga perihal substansi, seperti kriteria kepangkatan penjabat dan tolak ukur kebutuhan penjabat di suatu daerah. Pemerintah pun harus terbuka atas alasan-alasan kandidat tersebut layak atau tidak menjadi penjabat di daerah tersebut. Menurut Ihsan, aspek transparansi, akuntabel, dan partisipatif dalam penunjukan penjabat harus terpenuhi.

Peraturan pelaksana terkait pengangkatan penjabat kepala daerah juga perlu mengatur hal-hal yang potensial menjadi permasalahan, yang sebagian permasalahan sebetulnya telah terjadi. Permasalahan itu misalnya, jika gubernur enggan melantik penjabat bupati/wali kota akibat usulannya tidak terakomodasi.

Selain itu, pengaturan yang menyangkut apakah bisa pemerintah pusat tidak memilih penjabat yang diusulkan oleh DPRD atau gubernur. "Hal-hal semacam itu perlu diatur secara teknis di dalam Permendagri, sehingga tidak hanya mengatur terkait dengan mekanisme pengusulan semata," kata Ihsan.

Sebelumnya, ahli hukum tata negara dari Themis Indonesia, Feri Amsari, mengatakan, kondisi Indonesia akan sentralistik setelah pengangkatan penjabat kepala daerah di 271 wilayah sepanjang 2022 dan 2023. Pasalnya, menurut dia, proses penunjukan penjabat kepala daerah itu tak memperhatikan aspirasi daerah, tidak tranparan, dan tanpa pembentukan peraturan pelaksana.

"Bagaimana kondisi Indonesia setelah penunjukan penjabat termasuk Papua, saya pikir memang kondisinya akan sangat sentralistik," ujar Feri.

Dia mengatakan, sebenarnya kondisi sentralistik sudah sangat dirasakan ketika disahkan Undang-Undang tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Dia menyebutkan, dalam UU Ciptaker, seluruh kewenangan pemerintah daerah ditarik ke pusat.

Sedang Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH Universitas Islam Indonesia (UII) Muhamad Saleh pemerintah perlu lebih dulu membuat pemetaan kondisi riil masing-masing daerah dan kebutuhan penjabat kepala daerah yang memenuhi syarat sebagai penjabat kepala daerah. Memperhatikan kepentingan daerah dan bisa dievaluasi setiap waktu secara berkala.

Ia juga merekomendasikan Kemendagri mengevaluasi dan mengganti penjabat kepala daerah yang telah diangkat dari prajurit TNI dan anggota Polri tapi belum mengundurkan diri atau belum pensiun dari dinas aktif. Selain itu Saleh menekankan, karena pemilihan kepala daerah sangat erat kaitanya dengan otonomi daerah, maka Kemendagri juga harus memperhatikan aspirasi daerah. Kemendagri dalam penunjukan perlu mengutamakan calon penjabat dari daerah terkait dan paham persoalan daerah yang dipimpin.

Lalu legislatif juga bekerja mengawasi penunjukan penjabat kepala daerah. "Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga pengawas eksekutif agar mengawasi pengisian penjabat kepala daerah agar berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel," kata Saleh.

photo
Penjabat kepala daerah (Ilustrasi) - (republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement