REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Dalam rangka menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), pemerintah berencana mengujicobakan pelaksanaan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) bagi peserta JKN. Berbagai persiapan pun terus dilaksanakan oleh setiap pihak-pihak yang berwenang, termasuk regulator.
Merespon hal tersebut, Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ghufron Mukti, mengharapkan agar Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Kementerian Kesehatan dan Asosiasi Rumah Sakit dapat memperjelas kesepakatan definisi dan kriteria KRIS sebelum diujicobakan dan diimplementasikan. Ghufron mengatakan, pada Rapat Dengar Pendapat (RPD) bersama DPR RI beberapa waktu lalu, DJSN mengungkapkan bahwa telah menyepakati 12 kriteria yang akan menjadi dasar penyelenggaraan KRIS. Ke-12 kriteria tersebut dititikberatkan pada kondisi sarana dan prasarana non medis yakni ruang rawat inap, seperti kondisi ventilasi, suhu ruangan, kepadatan ruang rawat inap, dan lain sebagainya. Namun sayangnya, belum ada kriteria KRIS yang menyinggung sisi medis.
“Untuk itu, kami juga mengusulkan dua kriteria tambahan yang dirumuskan dalam regulasi KRIS, yaitu akses terhadap dokter dan obat. Hal ini merupakan esensi dari pelayanan kesehatan. Harapan kami, regulator menyediakan regulasi yang matang dan komprehensif melihat dari berbagai aspek, agar pelaksanaan KRIS tidak terganjal regulasi yang belum sempurna atau terkesan dipaksakan berjalan sambil regulasi menyesuaikan, karena itu akan berdampak terhadap mutu layanan fasilitas kesehatan, proses verifikasi klaim oleh BPJS Kesehatan, hingga kenyamanan peserta JKN itu sendiri," ujar Ghufron di tengah kunjungannya ke Rumah Sakit Pantiwilasa dr. Cipto, Semarang pada Sabtu (11/6/2022).
Ghufron mengatakan, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan BPJS Kesehatan beberapa waktu lalu, responden menyebutkan bahwa kelas rawat inap JKN yang sesuai adalah pada kelas kepesertaan yang menjadi hak mereka saat ini.
"Dari perspektif peserta JKN, urgensi yang diperlukan oleh peserta sebetulnya adalah dapat diaksesnya pelayanan kesehatan di manapun ketika dibutuhkan, bukan adanya kelas standar. Bagi responden, hak atas obat dan visitasi dokter adalah yang paling penting dalam Program JKN. Apapun kebijakan yang diterapkan, responden berharap ketika KRIS diterapkan, maka harus ada kepastian bahwa hak atas obat, kunjungan dokter dan ketersediaan kamar dijamin dengan baik," tegasnya.
Sesuai dengan peta jalan implementasi KRIS, seluruh rumah sakit diharapkan telah mengimplementasikan kriteria KRIS pada tahun 2024. Kriteria-kriteria yang akan dianut tersebut bukanlah hal yang baru. Sebetulnya, pemerintah sudah menetapkan hal tersebut melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 24 Tahun 2016 tentang Persyaratan Teknis Bangunan dan Prasarana Rumah Sakit. Oleh karena itu, beberapa rumah sakit yang tengah melakukan pembangunan gedung sudah mengacu pada ketentuan standar tersebut. Misalnya saja Rumah Sakit Pantiwilasa dr. Cipto Semarang.
“Ke-12 kriteria yang diatur telah diterapkan dengan baik oleh RS Pantiwilasa. Ini merupakan mimpi KRIS di masa depan. KRIS ditujukan untuk meningkatkan mutu layanan, untuk itu yang dirumuskan adalah standarisasi hak akomodasi rawat inap,” ungkap Ghufron.
Sementara itu, peserta JKN-KIS, Yasin Rohmansah (27), mengaku bahwa ruang inap yang ditempati putranya, Muhammad Razan (1), terasa nyaman. Ruang rawat inap tempat putranya dirawat sejak jumat lalu itu terkesan bersih, rapi dan nyaman.
“Dengan ruang yang nyaman seperti ini kami berharap agar keluarga yang dirawat bisa cepat sembuh. Pelayanan yang kami dapatkan juga baik dan mudah,” ungkap pria Yasin.