Ahad 05 Jun 2022 08:25 WIB

PKS yang Lelah Jadi Oposisi

PKS sudah tidak mau lagi berada di luar pemerintahan.

Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu (kiri), Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (kedua kiri), Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan (kedua kanan) dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menghadiri Milad ke-20 Partai Keadilan Sejahtera di Istora Senayan, Kompleks GBK, Jakarta, Ahad (29/5/2022).
Foto: ANTARA/Sigid Kurniawan
Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu (kiri), Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (kedua kiri), Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan (kedua kanan) dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menghadiri Milad ke-20 Partai Keadilan Sejahtera di Istora Senayan, Kompleks GBK, Jakarta, Ahad (29/5/2022).

Oleh : Bayu Hermawan, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyatakan sudah tidak mau lagi berada di luar pemerintahan. Pernyataan yang disampaikan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) PKS, Habib Aboe Bakar Alhabsyi itu boleh jadi merupakan sinyal bahwa partainya bakal serius menghadapi pemilihan presiden 2024 mendatang.

Saat ini PKS mungkin menjadi parpol yang paling kuat berada di luar lingkaran kekuasaan atau oposisi. Sebenarnya, bukan hanya dalam dua periode pemerintahan Jokowi saja, PKS pun sudah 'agak-agak' menjadi kubu oposisi saat periode terakhir pemerintahan SBY. Meski tidak menjadi oposisi garis keras, namun bisa dikatakan cukup aktif mengawasi berbagai kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah.

Namun, pada periode kedua pemerintahan Jokowi, suara PKS semakin kurang lantang terdengar. Mungkin karena mereka tidak punya mitra kuat sebagai oposisi, dimana sebelumnya ada Gerindra yang menemani, tetapi pascapilpres mitranya itu memilih bergabung dan membantu pemerintah. Hal ini yang mungkin, membuat PKS merasa lelah dan bosan berada di luar pemerintahan.

Wajar saja jika PKS ingin merasakan berada dalam lingkaran kekuasaan. Karena memang menjadi kubu oposisi, apalagi sendirian, sangat melelahkan dan menguras tenaga. Dan pilpres 2024, merupakan saat yang tepat bagi PKS untuk memperebutkan tempat di lingkaran kekuasaan.

Sebagai salah satu parpol yang sering bertarung di pemilu dan pilres sejak era reformasi, PKS punya segudang pengalaman dan pelajaran. Lalu, mengapa PKS sering kali berada di pihak yang kalah dalam Pilpres? salah satu penyebabnya sudah disampaikan oleh Sekjen Aboe Bakar Alhabsyi dalam Milad ke-20 partai itu. Yakni, PKS selama ini lebih sering mendukung bukan mengusung. PKS seolah hanya menjadi parpol penggenap presidential threshold saja.

Dalam dua pilpres terakhir contohnya, PKS hanya ikut mendukung saja. Pada Pilpres 2014, partai itu hanya ikut mendukung Prabowo-Hatta. Padahal, kala itu elektabilitas PKS cukup besar dijadikan nilai tawar untuk mengusung calon mereka. Begitupun pada pilpres 2019, PKS terkesan hanya menerima saja pasangan Prabowo-Sandi. Padahal sebagai mitra setia Gerindra di oposisi, PKS punya peluang untuk menaikan nilai tawar dengan menyodorkan tokoh yang mereka usung.

Pilpres 2024 seolah menjadi momentum bagi PKS untuk keluar dari predikat partai pendukung saja. PKS harus berani menyodorkan calon yang mereka usung. Jadi langkah pertama yang harus serius PKS lakukan adalah mencari calon yang tepat dan potensial untuk bisa memenangkan Pilpres.

Tentu, akan sangat lebih baik jika calon itu berasal dari internal partai, agar bisa membuktikan bahwa proses kaderisasi berjalan dengan baik. Tetapi, disisa waktu kurang dari dua tahun, rasanya akan sangat realistis jika tak harus mengambil kader internal alias orang luar yang punya elektabilitas tinggi.

Ada beberapa tokoh yang potensial untuk bisa diusung menjadi capres pada 2024, selain Prabowo Subianto tentunya. Sebut saja nama, Anies Baswedan yang elektabilitasnya tinggi. Atau Ridwan Kamil yang merupakan tokoh-tokoh nonparpol. PKS bisa juga mengoda Ganjar Pranowo yang elektabilitasnya juga mampu bersaing dengan Prabowo Subianto, namun belum ada sinyal bakal diusung oleh PDIP. Jadi coba aja dulu.

Yang terpenting, PKS harus bisa memanfaatkan sikap parpol-parpol lain yang masih 'malu-malu' untuk mengusung capres. PKS bisa bergerak terlebih dulu. Dengan bergerak cepat, selain bisa mengamankan tokoh potensial, PKS juga bisa mendapatkan keuntungan coattail effect untuk pemilu 2024. Setelah punya calon yang jelas dan potensial barulah bicara dan bergerak untuk membentuk koalisi. Karena, percuma juga ramai-ramai bikin koalisi, kalau calonnya belum ada. Ujung-ujungnya cuma jadi ajang kumpul-kumpul dan pecah.

Dengan perolehan suara 8,21 persen dari pemilu 2019, PKS bisa membentuk koalisi dengan beberapa parpol, terlebih sudah punya modal calon potensial yang ditawarkan. Meski politik sifatnya cair, namun kemungkinan besar parpol yang sulit berkoalisi dengan PKS di pilpres adalah PDIP dan Gerindra, dimana Prabowo Subianto bakal diusung sebagai capres. Selain itu, Golkar dan PKB juga masih abu-abu, karena ada Airlangga dan Muhaimin Iskandar yang kemungkinan diusung oleh mereka. Untuk memenuhi presidential threshold 20 persen, PKS bisa membentuk koalisi baru dengan Nasdem dan Demokrat.

Harus diakui, PKS masih menjadi salah satu parpol yang bisa menjadi game changer dalam kontestasi pilpres. Sehingga rasanya tak sulit jika sekadar mencari mitra koalisi saja. Tinggal bagaimana PKS apakah serius ingin menjadi pengusung atau tetap menjadi pendukung di pilpres mendatang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement