REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa mendalami pembentukan tim auditor untuk memeriksa pembukuan laporan keuangan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor, Jawa Barat, dengan memeriksa empat orang saksi di Jakarta, Kamis (19/5/2022).
Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK Ali Fikri, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat (20/5/2022), mengatakan KPK memeriksa empat saksi tersebut terkait perkara dugaan korupsi yang melibatkan Bupati nonaktif Bogor AdeYasin dan kawan-kawan sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan laporan keuangan Pemkab Bogor Tahun Anggaran 2021.
"Para saksi hadir dan didalami pengetahuannya, antara lain terkait dengan proses pembentukan tim auditor untuk memeriksa laporan keuangan Pemkab Bogor," kata Ali.
Keempat saksi tersebut ialah Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Jawa Barat Agus Khotib serta tiga pegawai negeri sipil (PNS) BPK Perwakilan Jawa Barat, yaitu Emmy Kurnia, Winda Rizmayani, dan Dessy Amalia.
Tim penyidik KPK juga mengonfirmasi proses dan teknis pemeriksaan hingga penentuan obyek pemeriksaan, yang antara lain proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Bogor.
Selain keempat saksi itu, Kamis, KPK juga memeriksa enam saksi lain yakni Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bogor Soebiantoro, PPK Bina Marga Dinas PUPR Kabupaten Bogor Heru Haerudin, Kabid Bina Marga Dinas PUPR Kabupaten Bogor Krisman Nugraha, serta tiga PNS Dinas PUPR Kabupaten Bogor yaituGantara Lenggana, R. Indra Nurcahya, dan Aldino Putra Perdana.
"Para saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain terkait proyek-proyek di Dinas PUPR dan dugaan beberapa temuan proyek pekerjaan yang menjadi obyek pemeriksaan tim auditor BPK Perwakilan Jabar," tambahnya.
Sementara itu, KPK telah menetapkan delapan tersangka dalam kasus tersebut. Empat tersangka selaku pemberi suap ialah Ade Yasin (AY), Sekretaris Dinas Kabupaten Bogor Maulana Adam (MA), Kasubid Kas Daerah BPKAD Kabupaten Bogor Ihsan Ayatullah (IA), dan PPK pada Dinas PUPR Kabupaten Bogor Rizki Taufik (RT).
Sedangkan empat tersangka selaku penerima suap yaitu pegawai BPK Perwakilan Jawa Barat/Kasub Auditorat Jabar III/pengendali teknis Anthon Merdiansyah (ATM), pegawai BPK Perwakilan Jawa Barat/Ketua Tim Audit Interim Kabupaten Bogor Arko Mulawan (AM), pegawai BPK Perwakilan Jawa Barat/pemeriksa Hendra Nur Rahmatullah Karwita (HNRK), dan pegawai BPK Perwakilan Jawa Barat/pemeriksa Gerri Ginajar Trie Rahmatullah (GGTR).
Dalam konstruksi perkara, KPK menjelaskan AY ingin Pemkab Bogor kembali mendapatkan predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) untuk TA 2021 dari BPK Perwakilan Jabar.
Lalu, BPK Perwakilan Jabar menugaskan tim pemeriksa untuk melakukan audit pemeriksaan interim (pendahuluan) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Pemkab Bogor TA 2021.
Tim pemeriksa bentukan BPK Perwakilan Jabar itu ialah ATM, AM, HNRK, GGTR, dan Winda Rizmayani. Mereka ditugaskan sepenuhnya mengaudit berbagai pelaksanaan proyek di antaranya pada Dinas PUPR Kabupaten Bogor.
Selanjutnya, pada Januari 2022, KPK menduga ada kesepakatan pemberian sejumlah uang antara HNRK dengan IA dan MA yang bertujuan untuk mengondisikan susunan tim audit interim.
KPK mengungkapkan AY menerima laporan dari IA bahwa laporan keuangan Pemkab Bogor jelek; dan jika dilakukan audit, maka BPK Perwakilan Jabar akan berakibat "opini disclaimer". Terhadap laporan tersebut, AY merespons dengan mengatakan "diusahakan agar WTP".
Sebagai realisasi kesepakatan, IA dan MA diduga memberikan uang sekitar Rp100 juta dalam bentuk tunai kepada ATM di salah satu tempat di Bandung. ATM kemudian mengondisikan susunan tim sesuai dengan permintaan IA, dimana nantinya obyek audit hanya untuk SKPD tertentu.
Proses audit dilaksanakan mulai Februari 2022 hingga April 2022, dengan hasil rekomendasi di antaranya bahwa tindak lanjut rekomendasi tahun 2020 sudah dilaksanakan dan program audit laporan keuangan tidak menyentuh area yang mempengaruhi opini.
Adapun salah satu temuan fakta tim audit ada di Dinas PUPR ialah pekerjaan proyek peningkatan Jalan Kandang Roda-Pakan Sari, dengan nilai proyek Rp 94,6 miliar yang pelaksanaannya diduga tidak sesuai dengan kontrak.
KPK menduga selama proses audit terdapatbeberapa kali pemberian uang oleh AY, melalui IA dan MA, kepada tim pemeriksa. Pemberian uang tersebut di antaranya dalam bentuk uang setiap pekan dengan besaran minimal Rp 10 juta hingga total selama pemeriksaan telah diberikan sekitar sejumlah Rp 1,9 miliar.