Selasa 17 May 2022 16:20 WIB

Ulama Vs Korporasi Bisnis 2024, Mungkinkah?

Kekuatan material maupun sosial merupakan basis kekuatan penentu suksesi Pemilu.

Research Director of IndoNarator, Harsam.
Foto:

Perang antara ulama dan korporasi bisnis belakangan, ungkap dia, mulai terlihat pada prosesi pemilihan Ketua Pengurus Besar NU (PBNU) 2021-2026 pada Muktamar ke-34 di Lampung. Kala itu terdapat dua calon yang maju, mereka adalah Said Aqil Siradj (petahana) dan Yahya Cholil Staquf.

Jika ditelaah, kata Harsam, kedua figur memiliki latar belakang berbeda, terutama Said Aqil Siradj yang notabene memiliki relasi kuat dengan bisnis korporasi. Dengan demikian, majunya Said Aqil Siradj pada suksesi ketum PBNU kemarin sebetulnya sebuah gambaran tak kasat mata terkait perang antara korporasi bisnis versus NU. 

Di samping itu, kata dia, pemicu lain perang antara ulama versus korporasi juga terletak pada janji pemberian konsesi lahan dari presiden Jokowi pada saat Kongres Umat yang diadakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 10-12 Desember 2021. Janji tersebut hingga kini belum ditepati. Sementara, pada kesempatan lain korporasi bisnis justru terus mengembangkan bisnis mereka dengan menyerobot lahan warga.

Sebagaimana merujuk hasil evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2018, bahwa sebanyak 40,46 juta hektare lahan di kawasan hutan dikuasai oleh usaha besar, sedangkan masyarakat hanya 1,74 juta hektare. 

Di samping itu, berdasarkan hasil sensus pertanian pada 2013, sebanyak 1,5 juta petani kaya atau sekitar 6,16 persen dari total rumah tangga petani di Indonesia hanya menguasai lahan seluas 8,63 juta hektare atau rata-rata 5,37 hektare per petani. Ini sangat timpang bila dibandingkan dengan 14,2 juta petani gurem (55,30 persen) yang hanya menguasai 2,67 juta hektare atau rata-rata 0,18 hektare per petani.

"Bertolak pada fakta-fakta di atas bukan tidak mungkin ulama yang merasa dipermainkan dengan janji-janji pemerintah soal konsesi lahan akan mengambil jalur perlawanan dengan kelompok korporasi bisnis yang hari ini sangat leluasa dalam penguasaan tanah di Indonesia. Dengan demikian, bukan tidak mungkin Pemilu 2024 akan menjadi pertarungan sengit antara kelompok ulama dengan kelompok oligarki dalam menegaskan kepentingan kelompoknya, " ujarnya. 

Hal penting lain yang tidak bisa dipandang sebelah mata terkait perseteruan ulama dan korporasi bisnis ini yakni soal “blank cheque”. Kasus yang disebutkan terakhir ini menarik untuk diulas. Seperti diketahui, blank cheque dalam pengertian sederhananya merupakan sebuah situasi di mana kesepakatan telah dibuat secara terbuka namun tidak jelas dan rawan disalahgunakan.

"Kasus ini melibatkan korporasi-korporasi besar di Tanah Air dengan melibatkan para oknum birokrat, atau pejabat pemerintah," ujarnya. 

Menurutnya, bijakan karet untuk eksportasi batubara, pemberian lisensi, konsesi, dan aneka kemudahan bagi kelompok korporasi bisnis menunjukkan dengan jelas betapa negara lebih cenderung melayani kepentingan penguasa modal dari pada mengakomodir kepentingan umat. 

Di tengah segala keistimewaan dan kemewahan yang didapatkan korporasi bisnis, kata dia, umat justru berada di posisi marjinal dalam segala aspek. Pengonsentrasian sumber daya (resources) di tangan para konglomerat membuktikan bahwa kepentingan umat sama sekali belum terakomodir. 

 

"Inilah penyebab utama ulama versus korporasi bisnis pada Pemilu 2024 akan datang dalam rangka perjuangan kepentingan umat," ucapnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement