Selasa 17 May 2022 16:20 WIB

Ulama Vs Korporasi Bisnis 2024, Mungkinkah?

Kekuatan material maupun sosial merupakan basis kekuatan penentu suksesi Pemilu.

Research Director of IndoNarator, Harsam.
Foto:

Ulama vs korporasi bisnis

Dikatakannya, pertarungan ulama dan korporasi bisnis pada momentum Pemilu 2024 sukar dihindari. Prediksi ini bukan tanpa dasar. Sebagaimana telah disinggung di depan, kata dia, baik para ulama maupun konglomerat merupakan dua entitas dengan pengaruh besar terhadap elektoral politik.

"Jika kekuatan korporasi ada pada basis material (finansial), maka kekuatan ulama ada pada basis sosial (massa)," katanya. 

Kedua sumber kekuatan baik material maupun sosial merupakan basis kekuatan penentu suksesi Pemilu. Karena itu, ada adagium, siapa yang ingin memenangkan kontestasi elektoral, maka ia mau tidak mau harus memiliki kekutan baik sosial maupun kapital/material/finansial.

Dengan demikian, ucap Harsam, tanpa bermaksud melebih-lebihkan, jika keduanya tidak dimiliki seorang kontestan utamanya kontestan RI 01, maka sudah dipastikan ia akan kalah dalam hal apapun.  Khusus peran ulama, bukan rahasisa lagi bahwa ulama merupakan tokoh agama dengan jumlah pengikut yang besar sehingga dapat memberikan pengaruh terhadap pemberian suara (voting).

"Ulama adalah figur dengan basis massa yang pasti karena mayoritas adalah pemilik pondok pesantren atau memiliki jamaah dalam jumlah yang besar, ' ucapnya. 

Selain itu, pengaruh ulama juga tidak bisa dipandang sebelah mata karena ulama kerap menjadi subjek yang didengar, dituruti, dan diikuti setiap perkataan ataupun tindakannya. Maka itu, tidak heran apabila suara ulama sangat menentukan. 

"Bisa dibayangkan, untuk jumlah anggota Nahdlatul Ulama (NU) saja, berdasarkan survei yang dilakukan LSI Denny JA  sebanyak 108 juta orang atau sekitar 49,5 persen dari 87 persen penduduk muslim di Indonesia. Dengan jumlah anggota sebanyak itu, tidak heran jika NU kerap jadi magnet bagi para kandidat untuk kepentingan kalkulasi suara di Pemilu," katanya. 

Lalu, bagaimana dengan pertarungan ulama versus korporasi bisnis? Sebetulnya, kata Harsam, untuk menjelaskan potensi “perang terbuka” kedua kekuatan ini cukup mudah. Bahwa secara historis, ulama merupakan tokoh sentral umat muslim dalam memperjuangkan nasib kelompok islam marjinal.

"Terkait marjinalisasi islam ini dengan cukup terang dan lugas diulas secara historis oleh Kuntowijoyo dalam An Evolutionary Approach to the Social History of the Umat Islam in Indonesia (1985). Dalam makalah tersebut ia menjelaskan proses marjinalisasi dan periferalisasi Islam di Indonesia telah terjadi bahkan pada masa negara agraris patrimonial Mataram," katanya. 

Menurutnya, proses peminggiran kekuatan saudagar muslim dan juga kekuatan Islam pada umumnya terus berlangsung pada era kolonial Belanda hingga fase Indonesia merdeka. Problem histrois ini, kata dia, menempatkan kekuatan ulama dan Islam Indonesia pada umumnya berada pada posisi subordinat terhadap kekuatan pebisnis Tionghoa.

"Tarikan sejarah ini pula yang hingga kini masih terasa dalam dinamika sosial, politik dan terutama ekonomi," ucapnya. 

Harus diakui bahwa pertarungan latensi antara ulama, saudagar muslim dan kekuatan Islam vis-a-vis korporasi bisnis yang mayoritas didominasi oleh nonpribumi adalah permasalahan klasik yang terjadi hingga kini. Pada momentum Pemilu, keduanya sebetulnya terlibat dalam perseteruan hebat, hanya saja gesekan ini seolah tak tampak karena sifatnya yang latensi. Namun, kemungkinan perang terbuka kedua pihak akan terjadi pada Pilpres 2024. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement